beritax.id – Pengelolaan sumber daya alam Indonesia kian menunjukkan ketimpangan relasi kuasa. Di atas kertas, negara hadir sebagai pengatur dan pengendali. Namun di lapangan, arah kebijakan dan praktik justru lebih banyak ditentukan oleh kepentingan korporasi tambang. Ketika izin diperpanjang dengan mudah dan pengawasan melemah, dominasi korporasi perlahan menggeser peran negara dalam menjaga kepentingan publik.k
Dalam beberapa waktu terakhir, publik menyoroti kebijakan perpanjangan izin tambang dan revisi regulasi sektor mineral dan batubara. Proses yang cenderung dipercepat, minim partisipasi publik, dan lemah evaluasi lingkungan memperkuat kesan bahwa kepentingan korporasi mendapat prioritas lebih tinggi dibanding keselamatan ruang hidup warga.
Di sejumlah wilayah tambang, masyarakat masih menghadapi dampak pencemaran air, kerusakan lahan, dan konflik agraria, sementara perusahaan tetap beroperasi tanpa koreksi berarti.
Ketika Pengawasan Negara Melemah
Pengawasan lingkungan dan sosial yang seharusnya menjadi fungsi utama negara kerap tidak berjalan efektif. Laporan pelanggaran lingkungan jarang berujung pada sanksi tegas, sementara audit dampak sering berhenti pada aspek administratif.
Kondisi ini membuat korporasi tambang memiliki ruang luas untuk beroperasi tanpa kontrol memadai, menciptakan ketimpangan antara kekuatan modal dan posisi warga terdampak.
Rakyat Menanggung Dampak, Korporasi Menghitung Keuntungan
Kerusakan jalan, sumber air tercemar, hilangnya lahan pertanian, hingga meningkatnya risiko bencana menjadi beban yang harus ditanggung masyarakat sekitar tambang. Sementara itu, keuntungan ekonomi tercatat rapi dalam laporan perusahaan dan statistik nasional.
Biaya sosial dan ekologis yang ditanggung rakyat jarang masuk dalam perhitungan kebijakan, sehingga ketidakadilan terus berulang.
Tanggapan Rinto Setiyawan: Negara Tidak Boleh Kalah oleh Modal
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menegaskan bahwa dominasi korporasi tambang adalah sinyal melemahnya fungsi negara.
“Tugas negara itu jelas: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Jika tata kelola sumber daya dikuasai korporasi, maka negara gagal mengatur. Jika rakyat dibiarkan menanggung dampak kerusakan, negara gagal melindungi. Dan jika suara warga tidak didengar, negara gagal melayani,” ujar Rinto.
Ia menekankan bahwa sumber daya alam adalah milik rakyat dan harus dikelola sebesar-besarnya untuk kepentingan publik, bukan segelintir pemilik modal.
Ketika regulasi dibuat lebih ramah investasi dibanding perlindungan lingkungan dan hak warga, maka kebijakan kehilangan legitimasi sosial. Negara berisiko berubah dari pengelola menjadi fasilitator kepentingan korporasi, sementara rakyat hanya menjadi penonton dari kerusakan ruang hidupnya sendiri.
Solusi: Mengembalikan Kendali Negara atas Sumber Daya
Untuk menghentikan dominasi korporasi dan memulihkan keadilan tata kelola, diperlukan langkah nyata:
- Perketat evaluasi dan pengawasan izin tambang
Tidak ada perpanjangan tanpa audit lingkungan dan sosial yang transparan. - Tegakkan sanksi tegas terhadap pelanggaran
Penegakan hukum harus berdiri di atas kepentingan publik, bukan tekanan modal. - Libatkan masyarakat terdampak dalam pengambilan keputusan
Rakyat harus menjadi subjek, bukan korban kebijakan. - Masukkan biaya ekologis dan sosial ke dalam perhitungan kebijakan
Keuntungan ekonomi tidak boleh menutupi kerusakan jangka panjang. - Tegaskan kembali peran negara sebagai pengatur utama
Bukan sekadar pemberi izin.
Dominasi korporasi tambang atas tata kelola sumber daya bukan sekadar persoalan ekonomi, melainkan persoalan kedaulatan dan keadilan. Selama negara tidak berani mengambil kembali kendali, kerusakan akan terus berlanjut dan rakyat akan terus menanggung akibatnya.
Mengatur sumber daya berarti melindungi kehidupan. Dan di situlah ukuran keberpihakan negara sesungguhnya.



