beritax.id – Demokrasi Indonesia secara prosedural memang masih berjalan. Pemilu tetap digelar, lembaga negara tetap berfungsi, dan jargon kedaulatan rakyat terus diulang dalam pidato resmi. Namun, di balik rutinitas demokrasi itu, arah yang ditempuh justru menunjukkan kemunduran. Demokrasi bergerak, tetapi bukan menuju pendewasaan, melainkan menjauh dari esensinya: kontrol rakyat terhadap kekuasaan. Yang tersisa adalah demokrasi administratif, kehilangan roh partisipatif.
Dalam beberapa waktu terakhir, publik disuguhi berbagai kebijakan dan wacana pemerintah yang sah secara hukum, tetapi problematik secara demokrasi. Pengambilan keputusan strategis dilakukan cepat, minim partisipasi publik, dan sering kali mengabaikan kritik masyarakat sipil. Parlemen lebih sering tampil sebagai pengesah kebijakan eksekutif ketimbang ruang pengawasan, sementara suara rakyat dianggap pengganggu stabilitas. Demokrasi dijalankan sebagai formalitas, bukan sebagai proses mendengar.
Kekuasaan Menguat, Koreksi Melemah
Fenomena menguatnya koalisi kekuasaan dan melemahnya oposisi menciptakan ketimpangan serius dalam sistem demokrasi. Ketika hampir semua kekuatan pemerintahan berada di dalam lingkar kekuasaan, mekanisme koreksi menjadi tumpul. Kritik publik kerap dibalas dengan narasi stabilitas, efisiensi, atau kepentingan nasional, seolah-olah suara rakyat adalah ancaman, bukan fondasi negara. Dalam kondisi ini, demokrasi kehilangan rem pengamannya.
Pemilu tetap digelar lima tahunan, tetapi keterhubungan antara pilihan rakyat dan arah kebijakan semakin kabur. Banyak keputusan penting tidak lagi terasa lahir dari mandat rakyat, melainkan dari kompromi pejabat. Akibatnya, muncul perasaan kolektif bahwa memilih hanyalah ritual, bukan alat perubahan. Demokrasi berjalan, tetapi rakyat tertinggal di belakang.
Dampak Jangka Panjang bagi Republik
Demokrasi yang terus mundur arah berisiko melahirkan apatisme publik. Ketika rakyat merasa suaranya tidak berpengaruh, partisipasi akan menurun dan kepercayaan terhadap institusi negara melemah. Dalam jangka panjang, ini bukan hanya krisis demokrasi, tetapi krisis legitimasi kekuasaan itu sendiri. Negara tetap berdiri, tetapi kepercayaan rakyat terkikis.
Solusi: Mengembalikan Arah Demokrasi ke Rakyat
Demokrasi Indonesia perlu dikoreksi arahnya sebelum terlalu jauh tersesat. Pemerintah dan lembaga negara harus membuka ruang partisipasi publik yang nyata, bukan simbolik. Parlemen wajib kembali menjalankan fungsi pengawasan secara kritis, bukan sekadar menyetujui. Kritik harus dilihat sebagai energi perbaikan, bukan ancaman stabilitas. Tanpa keberanian membatasi kekuasaan dan memperkuat kontrol rakyat, demokrasi akan terus berjalan tetapi makin jauh dari tujuan awalnya.
Demokrasi tidak cukup hanya hidup di prosedur; ia harus berpihak pada rakyat yang menjadi sumber kedaulatannya.



