beritax.id – Konflik di Pulau Rempang kembali menegaskan wajah pembangunan yang timpang. Atas nama menarik investasi dan mempercepat pertumbuhan ekonomi, warga yang telah puluhan tahun hidup dan bergantung pada tanahnya justru diposisikan sebagai penghalang. Kebijakan yang dipromosikan pemerintah, termasuk oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, dinilai lebih menomorsatukan kelancaran modal ketimbang perlindungan hak dasar warga. Ketika investasi dijadikan tujuan utama, ruang hidup rakyat kerap menjadi korban pertama.
Proyek investasi di Rempang dipromosikan sebagai motor pertumbuhan dan simbol kemajuan. Namun, narasi tersebut tidak sejalan dengan realitas di lapangan. Warga menghadapi relokasi paksa, ketidakpastian masa depan, dan minimnya ruang dialog yang setara. Pembangunan berjalan cepat, sementara suara warga tertinggal di belakang.
Relokasi yang Kehilangan Makna Keadilan
Relokasi disebut sebagai solusi, tetapi bagi warga Rempang, relokasi berarti tercerabut dari tanah leluhur, laut penghidupan, dan jaringan sosial yang telah terbangun lama. Proses pengambilan keputusan yang terburu-buru dan minim partisipasi memperdalam rasa ketidakadilan. Dalam situasi ini, relokasi lebih terasa sebagai paksaan administratif daripada kebijakan berkeadilan.
Penanganan konflik Rempang memperlihatkan kecenderungan negara hadir dengan pendekatan keamanan ketika berhadapan dengan warga, namun bersikap akomodatif terhadap kepentingan investor. Ketimpangan perlakuan ini menimbulkan kesan bahwa negara lebih sibuk menjamin kenyamanan modal daripada keselamatan rakyatnya sendiri. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap negara terus tergerus.
Tanggapan Partai X: Investasi Tidak Boleh Mengorbankan Rakyat
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R. Saputra, menegaskan bahwa pembangunan yang meminggirkan warga adalah kegagalan kebijakan.
“Tugas negara itu ada tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Jika demi modal masuk warga Rempang dipaksa minggir, maka negara sedang salah arah. Investasi seharusnya memperkuat kehidupan rakyat, bukan menggusurnya,” tegas Prayogi.
Ia menambahkan bahwa pembangunan tanpa keadilan hanya akan melahirkan konflik berkepanjangan.
Dampak Sosial yang Tidak Bisa Diabaikan
Konflik Rempang bukan sekadar soal lahan, tetapi soal rasa aman, martabat, dan masa depan warga. Jika pendekatan seperti ini terus dibiarkan, negara berisiko menciptakan preseden buruk: setiap proyek besar dapat mengorbankan komunitas lokal tanpa perlindungan memadai.
Situasi ini mengancam kohesi sosial dan stabilitas jangka panjang.
Solusi dan Rekomendasi
Untuk memastikan pembangunan berjalan adil dan berkelanjutan, diperlukan langkah-langkah berikut:
- Menghentikan pendekatan koersif terhadap warga terdampak
- Menjamin partisipasi bermakna masyarakat sejak tahap perencanaan
- Mengakui dan melindungi hak atas tanah dan ruang hidup warga
- Meninjau ulang proyek investasi yang memicu konflik sosial
- Menegaskan peran negara sebagai pelindung rakyat, bukan sekadar fasilitator modal
Partai X menegaskan, investasi tidak boleh menjadi alasan untuk menyingkirkan rakyat dari tanahnya sendiri. Negara hanya akan kuat jika pembangunan berjalan seiring dengan perlindungan hak dan martabat warganya.



