beritax.id – Belakangan ini, arah penyelenggaraan kekuasaan di Indonesia memperlihatkan pola yang serupa dari tingkat daerah hingga pusat. Wacana pembatasan partisipasi publik, penguatan kewenangan pejabat, serta kebijakan yang disusun tanpa pelibatan rakyat secara bermakna, muncul berulang dengan alasan efisiensi, stabilitas, dan ketertiban. Pola ini tidak berdiri sendiri, melainkan membentuk kecenderungan: kekuasaan ingin berjalan tanpa terlalu banyak intervensi rakyat.
Ketika suara publik dianggap memperlambat kerja negara, demokrasi mulai diposisikan sebagai hambatan, bukan fondasi.
Daerah yang Dibatasi, Pusat yang Menguat
Di tingkat daerah, wacana perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah, penguatan peran penguasa lokal, serta menyempitnya ruang koreksi publik memperlihatkan keinginan untuk mengendalikan proses dari atas. Sementara di tingkat pusat, keputusan strategis kerap diambil cepat dengan ruang dialog yang terbatas, dan kritik publik sering kali direspons defensif.
Kondisi ini menimbulkan kesan bahwa kekuasaan ingin steril dari dinamika rakyat—tenang, terkendali, dan minim gangguan.
Rakyat Hadir Saat Memilih, Absen Saat Menentukan
Pemilu dan pilkada tetap berlangsung, tetapi partisipasi rakyat sering berhenti di bilik suara. Setelah itu, ruang untuk memengaruhi kebijakan, mengoreksi wakil, dan menuntut pertanggungjawaban terasa sempit. Rakyat diminta patuh pada keputusan, tetapi jarang dilibatkan dalam prosesnya.
Demokrasi yang hanya aktif saat pemungutan suara adalah demokrasi yang pincang.
Stabilitas Versus Kedaulatan
Stabilitas nasional kerap dijadikan dalih utama. Namun stabilitas yang dibangun dengan menjauhkan rakyat dari kekuasaan justru rapuh. Ketika keputusan tidak lagi dirasakan sebagai hasil kehendak bersama, kepercayaan publik melemah. Negara mungkin tampak kuat secara administratif, tetapi kehilangan legitimasi sosial.
Sejarah menunjukkan, negara yang menjauh dari rakyatnya akan diuji oleh ketidakpercayaan.
Solusi: Mengembalikan Kekuasaan ke Akar Kedaulatan
Untuk menghentikan kecenderungan ini, negara perlu menegaskan kembali bahwa rakyat adalah sumber utama kekuasaan, bukan gangguan bagi pemerintahan. Setiap kebijakan strategis harus dibuka pada partisipasi publik yang bermakna, bukan sekadar formalitas. Mekanisme pemilihan langsung dan pengawasan rakyat perlu dipertahankan dan diperkuat, bukan dipersempit atas nama efisiensi. Transparansi dan akuntabilitas pejabat dari daerah hingga pusat harus ditegakkan agar kekuasaan tetap berada dalam kendali publik. Pendidikan politik warga juga penting agar rakyat tidak hanya memilih, tetapi aktif mengawal mandat yang telah diberikan.
Kekuasaan yang sehat tidak menjauh dari rakyat. Dari daerah hingga istana, negara hanya akan kuat jika tetap berpijak pada kehendak warganya.



