beritax.id – Banjir berulang, longsor, kekeringan, hingga rusaknya sumber penghidupan warga terus terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Namun dalam banyak kebijakan pembangunan, kerusakan ekologis justru tidak pernah benar-benar masuk dalam hitungan utama. Negara sibuk menghitung nilai investasi, pertumbuhan ekonomi, dan target proyek, sementara biaya ekologis dan penderitaan rakyat diperlakukan seolah tidak pernah ada.
Sejumlah daerah di Indonesia mengalami bencana hidrometeorologi yang berulang dalam waktu berdekatan. Di kawasan hulu yang mengalami pembukaan hutan untuk tambang, perkebunan, dan infrastruktur, banjir dan longsor semakin sering terjadi. Namun setiap bencana kembali disebut sebagai “faktor cuaca ekstrem”, tanpa evaluasi serius terhadap perubahan bentang alam akibat kebijakan perizinan.
Akibatnya, akar masalah tidak pernah disentuh, dan bencana diperlakukan sebagai peristiwa alam semata.
Ekologi Dipinggirkan dari Proses Pengambilan Keputusan
Dalam banyak keputusan strategis, analisis dampak lingkungan sering kali menjadi formalitas. Kerusakan hutan, hilangnya daerah resapan air, serta pencemaran sungai jarang menjadi dasar untuk menghentikan atau mengoreksi proyek yang sudah berjalan.
Ketika ekologi tidak diposisikan sebagai variabel utama, kebijakan publik kehilangan kemampuan melindungi kehidupan jangka panjang rakyat.
Rakyat Menanggung Biaya yang Tidak Pernah Dicatat
Kerusakan ekologis selalu melahirkan biaya sosial: rumah rusak, lahan pertanian gagal panen, air bersih tercemar, hingga hilangnya mata pencaharian. Namun semua kerugian ini tidak pernah masuk dalam neraca kebijakan negara.
Yang dihitung adalah keuntungan proyek, sementara yang diabaikan adalah penderitaan warga yang harus bertahan di tengah dampak lingkungan yang semakin parah.
Tanggapan Rinto Setiyawan: Negara Gagal Jika Mengabaikan Ekologi
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menegaskan bahwa pengabaian dampak ekologis adalah bentuk kegagalan negara menjalankan tugas dasarnya.
“Tugas negara itu jelas: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Ketika kerusakan ekologis dibiarkan dan tidak masuk hitungan kebijakan, berarti negara gagal melindungi. Ketika rakyat menanggung dampak tanpa perlindungan, berarti negara tidak melayani. Dan ketika izin terus dikeluarkan tanpa kontrol, berarti negara salah dalam mengatur,” tegas Rinto.
Ia menekankan bahwa lingkungan hidup bukan isu tambahan, melainkan fondasi keselamatan rakyat.
Selama ini, respons negara cenderung berhenti pada penanganan darurat. Bantuan disalurkan, pernyataan disampaikan, namun kebijakan yang melahirkan kerusakan tetap dipertahankan. Tanpa perubahan kebijakan, bencana hanya akan terus berulang dengan skala yang semakin besar.
Pola ini menunjukkan kegagalan struktural, bukan sekadar kelemahan teknis.
Solusi: Memasukkan Ekologi ke Jantung Kebijakan
Untuk menghentikan siklus kerusakan yang terus berulang, langkah konkret harus segera dilakukan:
- Jadikan dampak ekologis sebagai faktor utama dalam setiap kebijakan pembangunan
Bukan pelengkap, apalagi formalitas. - Hentikan proyek dan izin di wilayah dengan daya dukung lingkungan kritis
Keselamatan rakyat harus diutamakan. - Lakukan evaluasi kebijakan berbasis dampak nyata di lapangan
Bukan sekadar laporan administratif. - Libatkan masyarakat terdampak dalam proses pengambilan keputusan
Mereka yang menanggung risiko harus didengar. - Tegaskan kembali peran negara sebagai pelindung, pelayan, dan pengatur
Bukan fasilitator kerusakan.
Kerusakan ekologis bukan sekadar isu lingkungan, melainkan persoalan keadilan dan keselamatan rakyat. Selama dampaknya tidak masuk hitungan kebijakan, negara akan terus gagal menjalankan mandatnya.
Melindungi rakyat berarti melindungi ruang hidupnya. Dan tanpa keberanian mengoreksi kebijakan, kerusakan hari ini akan menjadi bencana yang diwariskan ke masa depan.



