Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – “Semua parpol itu kerajaan,” demikian ungkap Cak Nun, Emha Ainun Nadjib, dalam salah satu refleksinya yang menampar nurani. Pernyataan ini bukan sekadar satire, tapi cermin retak demokrasi Indonesia yang selama ini kita agung-agungkan sebagai “Negara Republik” dengan slogan “kedaulatan di tangan rakyat”.
Mari kita lihat kembali dasar konstitusi kita. Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menegaskan: Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik. Artinya, dalam bentuk republik, tidak ada raja, tidak ada kerajaan, tidak ada takhta warisan. Semua kekuasaan berasal dari rakyat, dijalankan oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Lanjut ke Pasal 1 ayat (2): Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Di sinilah letak persoalan fundamental kita. Ayat ini memang menegaskan kedaulatan milik rakyat, tetapi kemudian “diserahkan” dan “dibatasi” oleh Undang-Undang Dasar. Artinya, rakyat memiliki kedaulatan, tetapi tidak benar-benar menguasai pelaksanaannya. Kedaulatan berubah menjadi benda mati, dikelola oleh mekanisme formalistik yang mudah dikooptasi elite.
Implementasi UUD 1945
Lalu, bagaimana implementasinya dalam sistem politik? Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 Amandemen Keempat menyebut: Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum.
Inilah pintu masuknya “kerajaan-kerajaan mini” yang disebut Cak Nun. Parpol bukan lagi sekadar alat demokrasi, tetapi berubah menjadi “kerajaan” dengan rajanya masing-masing. PDIP adalah “Kerajaan Bung Karno” dengan Megawati sebagai pewaris tahta. Partai Demokrat adalah “Kerajaan SBY” yang setiap langkah politiknya harus restu sang pendiri. Bahkan partai-partai baru pun lahir sebagai kerajaan keluarga atau korporasi, bukan sebagai wadah ideologi rakyat.
Lalu, di mana posisi rakyat? Rakyat dijadikan sekadar “penduduk” yang boleh memilih, tetapi tidak pernah menentukan. Mereka hanya diminta legitimasinya lima tahun sekali melalui surat suara. Setelah itu, kedaulatan pun hilang, diambil alih oleh “raja-raja partai” yang berbisik di ruang-ruang rapat tertutup.
Inilah yang disebut Cak Nun sebagai tragedi besar republik ini: “Semua parpol itu kerajaan, dan kerajaan terbesar adalah kerajaan Bung Karno. Maka keputusan PDIP tetap Megawati. Sama halnya Demokrat tetap SBY. Semua bikin kerajaan sekarang.”
Putusnya Rantai Feodalisme
Ironisnya, jika kita telisik ke belakang, semangat republik lahir untuk memutus rantai feodalisme, menumbangkan kuasa turun-temurun, dan membebaskan rakyat dari penindasan elite. Namun, kini kita justru menukar satu raja dengan banyak raja. Parpol-parpol itu menjadi semacam kerajaan keluarga yang diwariskan dari bapak ke anak, dari kawan lama ke kroni setia.
Lebih tragis lagi, di Indonesia, presiden diusulkan oleh partai politik. Rakyat seolah-olah memilih, tapi yang menentukan adalah dapur “raja partai”. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 berbunyi: Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Tapi faktanya, presiden pun harus tunduk pada partai yang mengusungnya, bukan pada rakyat yang memilihnya.
Akibatnya, sistem demokrasi kita berubah menjadi monarki politik yang dibungkus jargon kerakyatan. Bendera republik masih berkibar, tapi rohnya sudah lama hilang. Kedaulatan rakyat hanya slogan kosong yang dijadikan dekorasi panggung kampanye.
Kini, rakyat dipaksa menerima “takdir” politik yang sudah diatur para elite partai. Mereka tak lagi menjadi pemilik penuh kedaulatan, hanya sekadar penonton pesta demokrasi yang penuh sandiwara.
Bangun Ulang Ketatanegaraan
Sudah saatnya kita merumuskan ulang sistem ketatanegaraan, mengembalikan kedaulatan seutuhnya ke tangan rakyat. Kita memerlukan reformasi total yang mendalam, bukan sekadar tambal sulam amandemen yang dikerjakan di meja “kerajaan partai”.
Jika kita benar-benar menghayati Pasal 1 ayat (2), kedaulatan rakyat harus dihidupkan bukan sekadar di atas kertas, melainkan dalam setiap keputusan dan kebijakan negara. Dan ini hanya bisa terjadi jika partai politik berhenti menjadi kerajaan, dan kembali menjadi alat perjuangan rakyat, bukan alat dinasti keluarga.
Sebagaimana Cak Nun sering mengingatkan: “bahwa justru tahun 1945 itu awal penjajahan, karena sebelum 1945 semua masih milik raja raja, dan justru setelah 1945, apakah kita dijajah “kerajaan” baru yang bernama parpol?”
Reformasi tata negara adalah jihad damai terbesar di era kita. Bukan melawan bangsa asing, tapi melawan kerajaan-kerajaan mini yang lahir dari ketamakan kita sendiri.