Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum IWPI, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Tanggal 17 Januari 2023 menjadi salah satu momen penting yang akan selalu dikenang oleh para Jamaah Maiyah dan publik Indonesia. Pada malam Mocopat Syafaat dan Tawashshulan di Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Cak Nun atau Emha Ainun Nadjib secara terbuka menyebut Presiden Joko Widodo seperti Firaun, disandingkan dengan Qorun dan Haman dalam konteks kepemimpinan yang otoriter dan oligarkis. Saat itu, Cak Nun menyebut, “Indonesia dikuasai oleh Firaun yang namanya Jokowi, oleh Qorun yang namanya Anthony Salim dan 10 naga. Terus Haman yang namanya Luhut.” Banyak yang terkejut. Tak sedikit yang menilai beliau sedang “kesambet” istilah Jawa yang berarti kerasukan atau terbawa suasana spiritual yang sangat dalam.
Namun, bagi yang mengamati perjalanan spiritual dan intelektual Cak Nun, ucapan itu bukanlah sekadar ledakan emosi. Itu adalah hasil pergulatan panjang, kejujuran nurani, sekaligus peringatan keras kepada bangsa ini.
Jauh sebelum peristiwa itu, pada peresmian Yayasan Rumah Maiyah Al-Manhal tanggal 7 Juli 2022. Cak Nun bahkan menangis saat mengaku minta maaf kepada Jamaah Maiyah. Beliau mengatakan belum bisa membenahi negara Indonesia yang menurut beliau sudah berubah menjadi negara “Nggateli” bahasa Jawa yang berarti “menyebalkan” atau “bedebah.”
Kritik Retoris atau Omong Kosong Saja?
Sebetulnya, ucapan Cak Nun ini bukan sekadar kritik retoris atau “omong kosong,” sebagaimana sering dilabelkan oleh pihak yang tidak memahami konteks. Cak Nun bukan sekadar budayawan, melainkan seorang saksi sejarah yang terlibat langsung dalam Reformasi 1998. Beliaulah yang berhasil membujuk Presiden Soeharto untuk turun dengan cara yang damai, mencegah potensi pertumpahan darah besar-besaran. Namun, setelah Soeharto turun, Cak Nun justru kecewa. Para aktivis yang dulu bersama beliau ternyata lebih sibuk mengejar jabatan. Ingin menjadi menteri, anggota DPR, direksi, atau komisaris BUMN, bukan benar-benar memperjuangkan rakyat.
Sejak itu, Cak Nun memilih jalan sunyi. Menarik diri ke dalam kesunyian spiritual, membangun Maiyah, mendalami berbagai ilmu, dan memperdalam perenungan tentang ketatanegaraan. Dalam sunyi itulah, di awal 2000-an, Cak Nun sejatinya sudah menemukan gagasan yang saya sebut “Konstitusi Langit.”
Apa itu Konstitusi Langit?
Konstitusi Langit adalah konsep ketatanegaraan yang menekankan pada kedaulatan rakyat secara hakiki, bukan sekadar formalitas demokrasi prosedural. Ia bukan hanya sekumpulan pasal dan ayat yang ditulis dalam dokumen, tetapi sebuah kesadaran kolektif spiritual yang menuntun negara agar benar-benar menjadi alat rakyat, bukan alat oligarki atau korporasi.
Dalam Konstitusi Langit, nilai-nilai transenden seperti kejujuran (siddiq), amanah (bertanggung jawab), tabligh (mampu menyampaikan kebenaran), dan fathanah (cerdas dan visioner). Bukan hanya menjadi sifat pribadi, melainkan harus menjadi sifat sistem. Dengan kata lain, sistem negara tidak boleh dijalankan oleh sekadar politisi oportunis. Melainkan oleh negarawan yang berjiwa mulia dan benar-benar mengabdi.
Kesambet?
Kalau kita pahami secara mendalam, “kesambet” yang dialami Cak Nun bukanlah kerasukan dalam arti negatif. Justru itu adalah momen spiritual ketika beliau seolah tersambung langsung dengan “frekuensi langit”, membaca tanda zaman, merasakan getar batin rakyat, dan menyuarakan nurani kolektif bangsa.
Dalam konteks hari ini, kesambet seruan-seruan keras Cak Nun adalah panggilan untuk “wudhu ulang,” membersihkan diri, dan menata kembali niat serta struktur ketatanegaraan kita. Kita sudah terlalu lama berputar dalam sistem yang mengkhianati rakyat: penuh transaksi kekuasaan, kongkalikong kekuasaan, dan kekayaan yang hanya beredar di lingkaran elite.
Melalui Konstitusi Langit, Cak Nun mengingatkan kita bahwa kedaulatan rakyat harus dihidupkan kembali sebagai ruh utama negara. Kita perlu kembali ke “pancer” atau inti diri bangsa, dengan memulihkan kepercayaan, etika, dan spiritualitas sebagai fondasi negara.
Saatnya Bangkit
Cak Nun dalam acara sinau bareng di trowulan Mojokerto tanggal 21 Februari 2019, mengatakan tahun 2025, adalah saat yang tepat untuk mulai menerjemahkan Konstitusi Langit ke dalam gerakan nyata. Tidak cukup hanya berwacana atau berkumpul dalam forum-forum spiritual. Kita butuh eksekutor gagasan, mereka yang tulus, konsisten, dan berani membawa konsep ini masuk ke ranah hukum, politik, dan birokrasi.
Kalau kita tidak segera bangkit, bangsa ini akan semakin tenggelam dalam permainan “matador” asing, dikendalikan oleh “Firaun-Firaun” lokal dan global yang terus menjarah kedaulatan kita.
Cak Nun sudah menyemai benih-benih kesadaran. Pertanyaannya: siapkah kita menangkap “tegangan langit” itu dan mewujudkannya menjadi gerakan?