Oleh: Rinto Setiyawan – Ketua Umum IWPI | Anggota Majelis Tinggi Partai X | Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Bangsa Indonesia, kata Cak Nun, sudah terlalu lama menjadi “banteng” dalam arena permainan matador asing. Ungkapan ini bukan sekadar kritik simbolik terhadap kondisi ketatanegaraan kita, melainkan sebuah peringatan keras bahwa negara ini sedang terjebak dalam posisi lemah, mudah disulut emosinya, diarahkan kekuatannya, dan akhirnya dikalahkan oleh pihak yang lebih lihai memainkan arena.
Dalam banyak kesempatan, Emha Ainun Nadjib atau akrab disapa Cak Nun, menyoroti bahwa lambang kerakyatan dalam Pancasila yang berupa kepala banteng adalah metafora yang tidak sepenuhnya mencerminkan semangat kecerdasan rakyat. Banteng, dalam budaya Spanyol, adalah simbol keberanian yang buta arah, emosional, dan mudah diprovokasi. Di tangan matador, sang banteng akhirnya menjadi tontonan publik yang mudah ditebak, dan selalu kalah.
“Banteng itu adalah binatang bodoh. Selalu jadi permainan matador,” ujar Cak Nun.
“Begitulah bangsa Indonesian selama ini, diperdaya kebijakan asing tanpa sadar.”
Ketatanegaraan: Sistem Lemah, Negara Lemah
Apa kaitannya antara banteng dan ketatanegaraan? Semuanya berpulang pada desain negara yang salah arah sejak awal. Kita mewarisi sistem dari dua model besar: konstitusi dari Amerika Serikat, dan regulasi turunan dari Belanda. Dalam praktiknya, struktur kekuasaan kita lebih sibuk meniru bentuk daripada menciptakan isi. Rakyat tidak menjadi pusat kuasa, tapi hanya penonton dalam teater kekuasaan yang dimainkan elit politik dan ekonomi.
Akibatnya, rakyat tak memiliki alat kontrol terhadap kebijakan, sementara kekuasaan terlalu jauh dari akar sosial dan spiritual bangsa ini. Bahkan jalur hukum pun, menurut Cak Nun, telah menjadi arena disorientasi: “Kalau kita kehilangan kambing, lalu menempuh jalur hukum, bisa-bisa malah kehilangan sapi.”
Struktur negara yang tidak berpihak pada rakyat akan selalu menjadi sasaran kontrol kekuatan global. Dan itu sudah terbukti: kebijakan fiskal sering disetir lembaga keuangan internasional, eksploitasi sumber daya alam dikendalikan korporasi asing, dan bahkan reformasi hukum pun bergantung pada tekanan dari luar.
Mengapa Perlu Reformasi Tata Negara?
- Rakyat Masih di Luar Sistem
Kita belum memiliki sistem konstitusi yang benar-benar lahir dari rahim bangsa sendiri. MPR sudah kehilangan taringnya sebagai mandataris rakyat, dan pemilu hanya menjadi rotasi kekuasaan, bukan kendaraan aspirasi. - Negara Tak Mampu Melindungi dari Permainan Global
Tanpa reformasi struktur, Indonesia akan terus menjadi pasar bukan pelaku dalam geopolitik dan geoekonomi dunia. Seperti banteng yang kuat tapi tak strategis, kita selalu jadi korban dalam arena global. - Kedaulatan Berbasis Spiritualitas dan Kecerdasan Bangsa
Cak Nun berkali-kali mengingatkan pentingnya ketahanan ruhani dan kecerdasan rakyat sebagai fondasi negara. Ini tak bisa dibentuk dalam sistem yang mewarisi logika penjajahan. - Indonesia Perlu Rajanya Sendiri, yang Bukan Keturunan, Tapi Pengerti Dunia dan Bangsa
Dalam pidato-pidatonya, Cak Nun menyebut perlunya pemimpin yang dipilih bukan karena nasab, tapi karena fathonah, yakni kecerdasan spiritual, sosial, dan strategis untuk memimpin di tengah tantangan global dan AI.
Langkah Menuju Reformasi Tata Negara
Sebagai salah satu murid spiritual Cak Nun, saya, Rinto Setiyawan, meyakini bahwa cita-cita ini bukanlah mimpi kosong. Pada tahun 2025 ini, saya telah menyusun konsep reformasi ketatanegaraan lengkap dengan draft Amandemen Kelima UUD 1945. Konsep ini mengembalikan kedaulatan rakyat ke tangan MPR, dengan struktur lembaga negara yang dibangun berdasarkan kebutuhan bangsa, bukan warisan kolonial atau salinan asing.
Gagasan ini saya rumuskan berdasarkan narasi dan spiritualitas Cak Nun, dan saya padukan dengan teori manajemen pemerintahan modern. Jika bangsa ini terus diam, maka bukan hanya akan terus menjadi banteng dalam arena matador, tapi lambat laun akan dibantai sejarah karena gagal berdaulat atas dirinya sendiri.
Penutup: Waktunya Rakyat Turun dari Tribun
Sudah cukup lama rakyat hanya jadi penonton. Sudah waktunya kita turun ke arena, bukan sebagai banteng yang dikendalikan, tapi sebagai arsitek yang membangun arena baru: negara yang berpihak, sistem yang melindungi, dan pemerintahan yang mencerminkan cita-cita bangsa.
Indonesia tak boleh jadi tontonan. Indonesia harus jadi aktor utama.