Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia | Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Dalam berbagai kesempatan, Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun kerap melontarkan kritik spiritual-filosofis terhadap kondisi bangsa Indonesia. Salah satu pernyataannya yang paling menggugah adalah bahwa Indonesia belum layak disebut negara, atau bahkan lebih tegas: negara ini sudah batal menjadi negara. Pernyataan ini bukan sekadar kritik ketatanegaraan biasa, melainkan refleksi mendalam terhadap kegagalan sistemik negara dalam menjalankan fungsinya.
Cak Nun menyatakan, “Kalau jatuhnya vonis A, ternyata praktiknya B. Kalau kita kehilangan kambing dan menempuh jalur hukum, malah bisa kehilangan sapi.” Ini adalah sindiran keras terhadap lemahnya keadilan hukum di Indonesia. Hukum belum menjadi jalan penyelesaian, melainkan jebakan sistemik yang justru menambah luka rakyat. Ini menandakan bahwa negara kita tidak berjalan sebagaimana mestinya sebagai entitas hukum dan pelindung rakyat.
Negara Batal: Ketika Sistem Tidak Layak Jalan
Ketika konstitusi tidak ditaati, lembaga negara tidak menjalankan fungsinya dengan adil, dan keadilan menjadi barang langka, maka negara itu sebenarnya telah batal dalam makna substantif. Ia hanya tegak secara administratif, tetapi kosong secara moral dan spiritual. Negara seperti ini tidak lagi mampu melindungi rakyat, melayani dengan benar, atau menata kehidupan bangsa menuju kebaikan bersama.
Dan jika negara sudah batal, maka menurut Cak Nun, tidak ada cara lain selain melakukan wudhu ulang. Istilah “wudhu” yang ia pakai bukan sekadar ritual suci keagamaan, melainkan metafora untuk menyucikan niat, kesadaran, dan sistem kehidupan berbangsa. Sebagaimana seorang Muslim tidak sah salat tanpa wudhu, maka negara juga tidak sah menyebut dirinya negara jika ia tidak memiliki niat yang suci, struktur yang adil, dan komitmen kepada rakyat.
Wudhu Ulang: Proses Pembersihan Nasional
Wudhu ulang dalam konteks ketatanegaraan berarti kita harus kembali ke titik nol. Membasuh kembali dasar-dasar konstitusi kita dari noda-noda korupsi, dominasi oligarki, manipulasi hukum, dan penindasan struktural terhadap rakyat kecil. Kita perlu kembali bertanya: untuk siapa negara ini ada? Siapa yang berdaulat sejatinya?
Selama ini, rakyat sebagai pemilik kedaulatan hanya ditempatkan sebagai penonton. Bahkan, dalam struktur ketatanegaraan kita, baik dalam UUD asli 1945 maupun hasil empat kali amandemen, rakyat tidak pernah sungguh-sungguh tergambar sebagai subjek utama. Mereka dijadikan objek, bukan pelaku utama demokrasi.
Merancang Ulang Tata Negara
Maka sudah saatnya bangsa ini tidak hanya melakukan reformasi tambal-sulam, tetapi merancang ulang seluruh struktur tata negaranya. Kita memerlukan suatu bentuk amandemen konstitusi kelima yang tidak sekadar kosmetik, tetapi menyentuh akar persoalan: siapa yang memegang mandat? Bagaimana distribusi kekuasaan dijalankan? Apakah rakyat sungguh menjadi sumber hukum, atau hanya dicatut dalam nama?
Desain ulang tata negara ini harus mengembalikan MPR sebagai mandataris rakyat yang sejati, bukan sekadar lembaga formalitas lima tahunan. Lembaga tinggi negara harus dirancang ulang sebagai badan pelaksana mandat rakyat, bukan sekadar pelengkap struktur birokrasi. Negara harus memiliki sistem yang terdesain, bukan hasil tambal sulam sejarah dan kompromi politik.
Menuju Indonesia yang Sah dan Layak
Membangun negara yang sah dan layak dimulai dari niat. Karena itu, “wudhu” bukan hanya simbolik, tapi langkah awal untuk mengawali “salat kebangsaan” yang benar. Jika sebelumnya kita hanya meniru konstitusi asing, dengan semangat Belanda di UU, dan semangat Amerika di struktur negara, maka kini saatnya kita melahirkan konstitusi dari rahim bangsa sendiri, seperti yang selalu digaungkan oleh Cak Nun.
Indonesia tidak boleh terus-menerus jadi permainan “matador” asing karena kita memilih lambang kebodohan sebagai simbol kerakyatan. Kita perlu memutus siklus kebodohan struktural dan menggantinya dengan kesadaran spiritual dan intelektual. Sebab bangsa yang tidak mampu mendesain ulang dirinya, akan terus hidup dalam bayang-bayang peradaban lain.
Penutup
“Jika negara sudah batal, maka kita tidak bisa memperbaikinya dengan cara lama,” begitu kira-kira pesan Cak Nun. Maka mari kita bersiap untuk wudhu bersama: menyucikan hati, menyusun ulang akal, dan memperbaharui niat kebangsaan kita. Sebab hanya dengan desain yang lahir dari kedaulatan rakyat dan nilai luhur bangsa sendiri, Indonesia bisa kembali menjadi negara yang sah di mata langit dan di hadapan sejarah.