Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – 13 Agustus 2025 menjadi hari yang menandai gejolak besar di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Bupati Sudewo didesak mundur, setelah gelombang protes rakyat yang tak terbendung terkait kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250%. Keputusan ini memicu bentrokan antara warga dengan aparat, meninggalkan catatan pahit dalam sejarah pemerintahan daerah.
Kenaikan PBB yang fantastis ini bukan sekadar kebijakan lokal yang gegabah. Akar masalahnya jauh lebih dalam, tahun ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani memangkas dana transfer pusat ke daerah, mayoritas hingga 50%. Langkah ini dimaksudkan untuk menutup defisit dan membayar utang luar negeri yang jatuh tempo mencapai Rp800 triliun, di tengah kegagalan proyek digitalisasi perpajakan seperti Coretax yang justru menurunkan penerimaan negara. Namun dampaknya langsung menghantam APBD, membuat pemerintah daerah kelimpungan mencari pemasukan baru.
Di Pati, jawaban yang diambil adalah menaikkan PBB secara drastis. Padahal, saat kampanye 2024, Sudewo sempat berjanji tidak akan menaikkan pajak. Namun janji itu dibuat sebelum ia mengetahui bahwa transfer ke daerah akan dipangkas setengahnya. Dalam sistem pemilihan kepala daerah kita saat ini, beban biaya kampanye kepala daerah yang sangat tinggi, ditambah janji-janji kampanye yang berlebihan, mendorong pejabat terpilih mencari sumber pendapatan instan. PBB menjadi salah satu sasaran paling mudah, meski langsung membebani masyarakat.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di Pati. Di Jombang, Semarang, dan sejumlah daerah lain, potensi kenaikan pajak serupa sudah mulai terlihat. Dengan kebijakan fiskal pusat yang semakin ketat dan strategi “lempar beban” ke daerah, rakyat di lapisan bawahlah yang menanggung akibatnya. Pajak-pajak baru mulai bermunculan, mulai dari pajak untuk online shop, pajak tempat olahraga, hingga wacana pajak media sosial.
Kasus Pati adalah Puncak Gunung Es
Bagi kami di Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI), kasus Pati adalah “puncak gunung es” carut-marut pengelolaan keuangan negara dan daerah. Pemotongan transfer pusat yang dilakukan tanpa strategi mitigasi berkeadilan hanyalah resep untuk memicu gejolak sosial. Jika pemerintah pusat tetap mengandalkan kebijakan yang membebani rakyat, kepercayaan publik akan runtuh, dan potensi instabilitas politik akan meningkat.
IWPI mendesak Presiden untuk meninjau ulang dan mereformasi kebijakan fiskal ini, mengganti paradigma pajak dari sekadar alat menutup defisit menjadi instrumen pemerataan dan kesejahteraan. Pemerintah pusat dan daerah harus duduk bersama mencari solusi kreatif, bukan menjadikan rakyat sebagai korban utama setiap kali neraca negara terancam merah.
Pendesakan terkait pengunduran diri Bupati Pati hari ini seharusnya menjadi alarm keras. Jika tak ada perubahan, bukan mustahil daerah-daerah lain akan mengikuti, bukan hanya dalam hal kenaikan pajak, tapi juga dalam potensi krisis kepercayaan terhadap pemerintah.