beritax.id – Jakarta, 8 Desember 2025 – Merasa dua kali dikalahkan di Pengadilan Pajak tanpa pernah melihat seluruh alat bukti mereka tercermin secara utuh dalam putusan. PT Arion Indonesia resmi mengajukan uji materi Pasal 78 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Langkah itu tercatat dalam Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 249/PUU/PAN.MK/AP3/12/2025 yang dikeluarkan Panitera Mahkamah Konstitusi pada Senin, 8 Desember 2025. Dalam permohonan ini, PT Arion Indonesia menunjuk Kahfi Permana, S.H., M.H. dari kantor hukum Aegis Justitia Law Office sebagai kuasa hukum yang mewakili perseroan di hadapan MK.
Dua Kali Kalah, Dua Kali Bukti Tak Terlihat di Putusan
PT Arion Indonesia menyebut telah dua kali berjuang di Pengadilan Pajak dalam perkara yang bernilai besar. Namun dalam kedua putusan tersebut majlis hakim tidak mencantumkan secara penuh alat bukti yang diajukan selama persidangan.
Perkara pertama diperiksa oleh Majelis IIIA Pengadilan Pajak yang diketuai Junaedi Eko Widodo. Dalam perkara ini, PT Arion Indonesia mengajukan berbagai dokumen, korespondensi, dan bukti pendukung lain yang menjadi inti argumentasi perusahaan. Namun, ketika putusan dibacakan, bagian pertimbangan hukum dinilai tidak memuat secara lengkap jenis, isi, dan penilaian atas alat bukti tersebut. Sehingga publik maupun pihak yang berperkara tidak dapat menelusuri bagaimana hakim sampai pada kesimpulannya.
Perkara kedua diperiksa oleh Majelis XIVA Pengadilan Pajak yang diketuai Dudi Wahyudi, dengan nilai sengketa yang disebut merugikan PT Arion Indonesia hingga sekitar Rp 5,14 miliar. Pola yang sama kembali muncul: perusahaan menyampaikan bukti-bukti utama dan keterangan pendukung sepanjang persidangan. Namun tidak menemukan uraian rinci dan penilaian satu per satu atas bukti-bukti tersebut pada putusan tertulis. Meski majelis menyatakan telah melakukan penilaian pembuktian. Putusan tersebut kini menjadi salah satu bukti penting yang dilampirkan dalam permohonan uji materi ke MK.
“Bagi klien kami, yang paling menyakitkan bukan sekadar kekalahannya. Tetapi ketika mereka tidak bisa melihat apakah bukti yang dibawa itu sungguh-sungguh dinilai,” ujar Kahfi Permana, S.H., M.H.. “Dalam dua perkara, pola yang dirasakan sama: kerja keras menyiapkan bukti tidak tercermin di putusan,” lanjutnya.
Keluhan Wajib Pajak: ‘Tanpa Koneksi, Sulit Menang di Pengadilan Pajak’
Kahfi Permana juga mengungkapkan pengalaman kliennya yang semakin memperkuat keputusan untuk menggugat Pasal 78 ke MK.
“Pada satu kesempatan, klien kami pernah mendengar langsung dari seorang petugas pajak bahwa PT Arion Indonesia tidak akan menang di Pengadilan Pajak jika tidak memiliki koneksi dengan hakim maupun pegawai pengadilan,” kata Kahfi.
Ia menegaskan, pernyataan tersebut mungkin dapat disangkal secara formal, namun secara sosiologis menunjukkan dua hal penting:
- Rendahnya kepercayaan terhadap independensi dan fairness Pengadilan Pajak di mata aparat maupun Wajib Pajak sendiri;
- Kesan kuat bahwa hasil perkara tidak sepenuhnya ditentukan oleh kekuatan bukti dan argumentasi hukum. Tetapi oleh faktor non-yuridis yang sulit dikontrol.
“Ketika ucapan seperti itu bisa muncul dari petugas, lalu kami melihat putusan yang tidak menjelaskan secara terang bagaimana bukti dinilai. Maka kekhawatiran kami bahwa sistem ini punya masalah serius menjadi sangat beralasan,” tegas Kahfi.
Pasal 78 Dinilai Jadi ‘Perisai’ Keyakinan Hakim Tanpa Transparansi Bukti
Inti permohonan PT Arion Indonesia adalah Pasal 78 UU Pengadilan Pajak, yang mengatur bahwa putusan Pengadilan Pajak. Hal ini diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, dan “keyakinan hakim”.
Menurut Kahfi, dalam praktik, frasa “hasil penilaian pembuktian” dan “berdasarkan keyakinan hakim” kerap dipahami dan diterapkan tanpa batasan yang cukup jelas. Tidak ada ketentuan eksplisit yang mewajibkan hakim untuk mencantumkan seluruh alat bukti dalam putusan. Serta tidak ada norma yang secara tegas mengharuskan hakim memberikan penilaian hukum satu per satu terhadap setiap alat bukti yang diajukan para pihak.
“Yang terjadi, keyakinan hakim seolah-olah sudah cukup disebut, tanpa publik bisa melihat dari mana keyakinan itu terbentuk,” kata Kahfi. “Padahal, dalam negara hukum, keyakinan hakim seharusnya bukan ruang gelap. Tetapi simpulan akhir yang lahir dari penilaian bukti yang bisa ditelusuri.”
PT Arion Indonesia menilai, dalam dua perkara yang mereka alami, Pasal 78 justru menjelma menjadi ‘perisai’ yang melindungi putusan yang tidak transparan, karena putusan cukup menyatakan bahwa hakim sudah menilai bukti dan meyakini sesuatu, tanpa membuka struktur penalaran yang dapat diuji oleh para pihak ataupun masyarakat.
Konteks Lebih Luas: Dominasi Kekuatan Eksekutif di Bidang Pajak
Dalam permohonannya, PT Arion Indonesia juga menyentuh konteks yang lebih luas mengenai keseimbangan kekuasaan di bidang perpajakan.
Di tingkat pembentukan norma, mereka menyoroti adanya puluhan pendelegasian ke Peraturan Menteri Keuangan dalam berbagai undang-undang pajak. Di tingkat pelaksanaan, kewenangan sangat besar berada di tangan Direktorat Jenderal Pajak yang berada dalam struktur Kementerian Keuangan. Sementara itu, sampai dengan 31 Desember 2026, secara organisasi Pengadilan Pajak masih berada di bawah Kementerian Keuangan.
“Ketika norma disusun, dijalankan, dan sengketanya diadili dalam orbit yang sama, beban untuk memastikan fairness di level hukum acara menjadi sangat besar,” jelas Kahfi. “Di titik itulah, Pasal 78 menjadi krusial. Jika pasal ini membiarkan keyakinan hakim tanpa kewajiban menjabarkan penilaian bukti, maka Wajib Pajak berada dalam posisi yang sangat timpang,” tambahnya.
Apa yang Diminta PT Arion Indonesia kepada Mahkamah Konstitusi?
Melalui permohonan uji materi ini, PT Arion Indonesia tidak meminta keyakinan hakim dihapus dari sistem peradilan pajak. Yang diminta adalah pembatasan konstitusional agar keyakinan hakim tidak berdiri sendiri tanpa fondasi penilaian bukti yang jelas.
Secara garis besar, PT Arion Indonesia memohon agar Mahkamah Konstitusi:
- Menafsirkan Pasal 78 sebagai inkonstitusional bersyarat, yaitu hanya konstitusional jika dimaknai bahwa:
- Hakim Pengadilan Pajak wajib mencantumkan seluruh alat bukti yang diajukan para pihak dalam putusan;
- Hakim wajib memberikan penilaian dan pertimbangan hukum satu per satu terhadap setiap alat bukti, terutama bukti primer;
- Keyakinan hakim hanya boleh dibentuk setelah seluruh alat bukti dinilai secara objektif dan transparan, bukan sebagai pengganti kewajiban menilai bukti;
- Pengetahuan hakim bersifat subsider, bukan alat untuk mengesampingkan bukti yang diajukan pihak berperkara.
- Apabila tafsir tersebut ditolak, Mahkamah diminta menyatakan Pasal 78 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, serta mendorong pembentuk undang-undang menyusun aturan baru yang lebih sejalan dengan prinsip negara hukum dan perlindungan hak konstitusional Wajib Pajak.
Lebih dari Sekadar Perkara Satu Perusahaan
Bagi PT Arion Indonesia, perkara ini tidak berhenti pada kerugian finansial yang mereka alami, tetapi menyangkut cara negara memperlakukan Wajib Pajak yang mencari keadilan.
“Kalau dalam putusan saja bukti tidak tampak, publik dan Wajib Pajak mana pun akan sulit percaya bahwa peradilan pajak berjalan fair,” ujar Kahfi Permana. “Uji materi ini kami ajukan bukan hanya untuk PT Arion Indonesia, tetapi untuk memastikan bahwa siapa pun Wajib Pajak yang masuk ke ruang sidang Pengadilan Pajak punya hak yang sama: bukti dilihat, argumentasi didengar, dan putusan dapat ditelusuri secara jujur dan akuntabel.”
Dengan masuknya permohonan ini ke Mahkamah Konstitusi, proses pengujian Pasal 78 UU Pengadilan Pajak akan menjadi salah satu perkara yang mendapat perhatian luas kalangan Wajib Pajak, praktisi hukum, dan para pemerhati reformasi sistem perpajakan di Indonesia.



