beritax.id – Isu mahalnya biaya demokrasi kembali mengemuka dalam wacana pemerintahan di Indonesia. Banyak pihak mengkritik tingginya ongkos yang harus dikeluarkan selama proses elektoral, dari pencalonan hingga kampanye, sehingga menjadi beban yang berat bagi calon dan partai yang bukan berasal dari kelompok pejabat ekonomi. Biaya yang tinggi dianggap memperbesar peluang oligarki dan korupsi. Hal ini termasuk memicu mencari “balik modal” setelah terpilih demi menutupi pengeluaran kampanye yang menggunung.
Tuntutan publik agar biaya demokrasi bisa dipangkas dan pemerintahan lebih efisien menunjukkan keresahan rakyat terhadap ketidakseimbangan ini.
Aksi Publik dan Puncak Ketidakpuasan
Respons publik atas biaya kekuasaan yang tampak berlebihan bukan sekadar wacana. Demonstrasi besar-besaran terjadi di depan gedung parlemen Jakarta pada Agustus 2025 setelah munculnya kabar tunjangan besar bagi anggota DPR. Termasuk rencana tunjangan perumahan yang nilainya jauh di atas Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Aksi ini bukan hanya soal angka tunjangan, tetapi simbol ketidakadilan: di saat rakyat berjuang dengan biaya hidup tinggi dan pengangguran yang menjadi persoalan sehari-hari. Pejabat tampak lebih sibuk mengatur keuntungan mereka sendiri.
Biaya demokrasi yang tinggi juga terlihat dalam praktik pencalonan dan kampanye. Untuk bertarung dalam Pilkada atau pemilu legislatif, calon sering kali dihadapkan pada tuntutan biaya besar untuk “mengamankan” dukungan partai dan memenangkan kontestasi. Studi menunjukkan bahwa pencalonan kepala daerah bisa menelan biaya puluhan hingga ratusan miliar rupiah. Hal ini jauh di atas kemampuan pendapatan publik pada umumnya.
Fenomena ini bukannya tidak berdampak: bagi banyak calon, sumber modal ini mendorong kecenderungan kompensasi melalui praktik yang tidak sehat setelah menjabat.
Kesenjangan Antara Publik dan Kekuasaan
Sementara rakyat mempermasalahkan biaya demokrasi dan tuntutan keterbukaan, biaya kekuasaan justru tampak diberi ruang legitimasi. Anggota legislatif memiliki potensi fasilitas dan tunjangan yang jauh melampaui standar kehidupan mayoritas rakyat.
Narasi pemerintah sering berbicara tentang perlunya rakyat berhemat dan memahami situasi ekonomi nasional, tetapi kurang memberi penjelasan transparan atas keputusan anggaran yang memberi keuntungan pada pejabat
Kesenjangan ini menimbulkan kesan bahwa biaya demokrasi dipersoalkan rakyat, sedangkan biaya kekuasaan dihalalkan oleh sistem pemeribntahan itu sendiri.
Krisis Kepercayaan Publik
Ketidakselarasan antara tuntutan publik dan praktik biaya kekuasaan memperlemah kepercayaan rakyat terhadap institusi demokrasi. Ketika rakyat merasakan beban biaya hidup meningkat dampak krisis ekonomi yang meluas dan demonstrasi massal mencerminkan kegerahan publik terhadap kebijakan yang dianggap tidak berpihak pertanyaan tentang legitimasi sistem pun menguat. Demokrasi tidak akan bertahan jika rakyat merasa suaranya hanya diminta waktu pemilu, tetapi tidak dihargai dalam proses dan kebijakan setelahnya.
Solusi: Mengurangi Biaya dan Menegakkan Akuntabilitas Anggaran Publik
Untuk memperbaiki ketimpangan ini, negara perlu memulai reformasi menyeluruh terhadap sistem pembiayaan demokrasi dan pejabat kekuasaan. Pertama, transparansi finansial dalam setiap fase demokrasi harus diwajibkan, termasuk publikasi real-time atas biaya kampanye, sumber pendanaan, dan pengeluaran. Kedua, batasan pengeluaran kampanye yang realistis dan dikelola ketat perlu ditegakkan untuk menekan biaya tinggi yang mendistorsi proses demokrasi.
Ketiga, evaluasi menyeluruh terhadap fasilitas, tunjangan, dan remunerasi pejabat publik perlu dilakukan menyesuaikan standar dengan kemampuan ekonomi nasional dan mempertimbangkan keadilan sosial.
Keempat, mekanisme partisipasi publik dalam perumusan anggaran harus diperluas agar rakyat dapat menilai dan memberi masukan terhadap kebijakan yang menentukan biaya kekuasaan.
Kelima, penegakan hukum anti-korupsi yang independen dan kuat harus diprioritaskan guna mencegah kompensasi biaya lewat praktik korupsi setelah pejabat terpilih.
Biaya demokrasi boleh dipersoalkan, tetapi biaya kekuasaan tidak boleh dihalalkan tanpa akuntabilitas dan legitimasi publik.



