beritax.id – Badan Gizi Nasional (BGN) memaparkan rincian penggunaan anggaran Program Makan Bergizi Gratis (MBG) tahun 2026 sebesar Rp268 triliun. Jumlah ini naik sekitar Rp50,1 triliun dari pagu indikatif sebelumnya Rp217,8 triliun. Kepala BGN Dadan Hindayana menyebut anggaran itu dialokasikan untuk berbagai kelompok penerima manfaat. Anak sekolah mendapat Rp34,49 triliun, ibu hamil, menyusui, dan balita Rp3,18 triliun. Selain itu, belanja pegawai ASN Rp3,9 triliun, digitalisasi MBG Rp3,1 triliun, promosi dan edukasi Rp280 miliar, serta pemantauan BPOM Rp700 miliar. Dari total Rp268 triliun, 95,4 persen diarahkan untuk pemenuhan gizi nasional.
Kritik Partai X atas Prioritas
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R Saputra, menegaskan rakyat tak butuh angka fantastis di atas kertas. Menurutnya, rakyat lapar butuh kepastian makanan bergizi, bukan laporan pagu berlapis. Negara punya tiga tugas utama: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Anggaran sebesar Rp268 triliun harus benar-benar turun ke meja makan rakyat. Jika hanya terserap untuk birokrasi, rakyat tetap lapar sementara pejabat sibuk berdebat. Partai X mengingatkan bahwa konstitusi mewajibkan negara memastikan pangan rakyat, bukan sekadar menyiapkan nomenklatur.
Prinsip Partai X
Negara bukan milik pemerintah, tetapi milik rakyat yang memberi mandat. Pemerintah harus bekerja sebagai pelayan rakyat, bukan penikmat anggaran. Anggaran gizi seharusnya mencerminkan gotong royong, keberlanjutan, dan keadilan. Partai X menilai, tanpa kontrol transparan, program makan bergizi bisa berubah menjadi lahan rente penguasa. Prinsip dasar Pancasila dan UUD 1945 menuntut agar keadilan dalam pangan menjadi prioritas nyata, bukan slogan kosong.
Solusi Partai X
Partai X menawarkan solusi konkret. Pertama, pengawasan publik partisipatif melalui Musyawarah Rakyat untuk memastikan anggaran tersalurkan tepat sasaran. Kedua, pemisahan jelas antara dana operasional birokrasi dan dana langsung rakyat agar tidak kabur dalam administrasi. Ketiga, digitalisasi berbasis transparansi terbuka, bukan sekadar jargon teknologi, agar publik bisa mengawasi distribusi makanan. Keempat, distribusi makanan harus berbasis koperasi rakyat, bukan monopoli korporasi besar. Kelima, pendidikan gizi harus dibarengi pemberdayaan lokal agar petani beras, sayur, dan protein rakyat ikut sejahtera. Dengan solusi ini, program makan bergizi bukan hanya jargon kekuasaan, melainkan langkah nyata membangun bangsa sehat.
Partai X menegaskan, rakyat butuh makanan, bukan angka triliunan yang berhenti di laporan. Pemerintah harus memastikan setiap rupiah anggaran MBG benar-benar berubah menjadi nasi, lauk, dan sayur di meja rakyat. Jika gagal, program makan bergizi hanya menjadi pesta birokrasi, bukan jawaban atas perut kosong bangsa.