beritax.id – Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan, pencemaran sungai, dan sederet bencana lain yang datang silih berganti. Namun pola yang muncul begitu jelas: bencana alam ini bukan lagi akibat faktor alam semata, melainkan akumulasi dari pilihan kebijakan yang salah arah. Ketika hutan ditebang, ketika sungai disempitkan, ketika lahan gambut dibakar, ketika tambang menguasai pegunungan maka bencana bukan sedang “datang”, tetapi sedang “diundang”.
Jika ekosistem rusak karena keputusan manusia, maka itu bukan bencana alam, tetapi bencana kebijakan.
Kerusakan Lingkungan Bukan Terjadi Begitu Saja
Hutan hilang bukan karena angin. Sungai tercemar bukan karena hujan. Lahan kritis muncul bukan karena nasib. Semua ini adalah hasil dari eksploitasi yang dilegalkan, diperluas, bahkan didorong melalui kebijakan. Alih fungsi lahan dilakukan tanpa kajian yang matang, izin industri diberikan di kawasan rawan, dan penegakan hukum lingkungan lemah.
Kerusakan ekologis adalah buah dari pembiaran dan kompromi yang berlangsung bertahun-tahun.
Dalih “Cuaca Ekstrem” Tidak Lagi Relevan
Setiap kali bencana terjadi, pemerintah cepat menyebut cuaca ekstrem, perubahan iklim global, atau fenomena alam lainnya sebagai penyebab utama. Tetapi kenyataannya, cuaca ekstrem hanyalah pemicu. Yang memperparah dampak adalah hutan yang hilang, bukit yang gundul, sungai yang dangkal, dan tata ruang yang kacau.
Bencana menjadi besar bukan karena hujannya kuat, tetapi karena ekosistem terlalu lemah untuk menahannya.
Kebijakan Lingkungan Penuh Celah dan Kontradiksi
Di satu sisi, pemerintah berbicara soal kelestarian lingkungan dan mitigasi iklim. Namun di sisi lain, izin tambang diperluas, kawasan lindung diperkecil, dan proyek-proyek besar terus masuk ke area sensitif. Kontradiksi ini menunjukan bahwa lingkungan sering hanya dijadikan jargon, bukan prioritas kebijakan. Ekosistem tidak dilindungi oleh pidato ia dilindungi oleh keputusan yang benar.
Setiap bencana ekologis selalu menghantam rakyat dan terpencil rumah hancur, ladang rusak, akses air bersih hilang, dan sumber ekonomi lenyap seketika. Mereka tidak merusak lingkungan, tetapi justru menjadi korban dari hasil kebijakan yang tidak berpihak pada kelestarian. Ketika kebijakan salah, rakyat selalu menjadi korban paling nyata.
Solusi: Mengubah Arah Kebijakan Agar Ekosistem Tidak Terus Hancur
Untuk menghentikan rangkaian bencana ekologis, negara harus kembali menempatkan lingkungan sebagai landasan utama kebijakan pembangunan. Pertama, izin-izin yang terbukti merusak ekosistem harus dievaluasi dan dicabut, bukan dibiarkan demi kepentingan ekonomi jangka pendek. Kedua, penegakan hukum lingkungan harus dilakukan tanpa kompromi, mencakup pelaku ilegal maupun perusahaan besar yang melanggar standar ekologis. Ketiga, tata ruang harus diperbaiki dengan menempatkan daya dukung alam sebagai acuan utama, bukan kepentingan proyek. Keempat, kawasan hutan, pesisir, dan lahan gambut harus dipulihkan melalui restorasi ekologis yang melibatkan masyarakat setempat. Kelima, kebijakan pembangunan harus beralih ke model berkelanjutan yang mengintegrasikan aspek sosial, ekologis, dan ekonomi secara seimbang.
Mengelola alam dengan benar adalah cara paling efektif mencegah bencana kemanusiaan di masa depan.
Kesimpulan: Bencana yang Kita Hadapi Adalah Cermin Kebijakan Negara
Bencana ekologis yang terjadi berulang kali di Indonesia adalah cermin bahwa negara belum menjalankan tanggung jawabnya menjaga lingkungan.
Jika kebijakan negara terus membuka ruang untuk eksploitasi tanpa kendali, maka bencana akan terus datang dengan skala yang semakin besar.
Ketika alam rusak oleh kebijakan, pemerintah wajib bertanggung jawab karena bencana ini bukan sekadar alam, tetapi hasil dari pilihan yang salah.



