beritax.id – Antono, warga biasa dan anggota Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI), mengaku diperas hingga Rp10 miliar oleh oknum pejabat pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Bojonegoro. Pernyataan terbuka ini disampaikan dalam video resmi IWPI dan kanal Pajaksmart. Antono menyebut tindakan ini sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan dan melukai rasa keadilan rakyat.
Dalam pernyataannya, Antono mempertanyakan legitimasi klarifikasi dari pejabat pajak yang muncul tanpa identitas resmi. Ia juga menyoroti kejanggalan tagihan pajak anaknya sebesar Rp10,4 miliar, padahal pemeriksaan dilakukan terhadap dirinya. Ia menganggap ini manipulasi dan pelanggaran prinsip negara hukum.
“Kalau benar saya punya omset segitu, buktikan secara terbuka. Jangan asal nyebut angka. Ini negara hukum, bukan negara asal tuduh.”
Antono mengkritik keras denda dan sanksi yang diberlakukan, serta menduga adanya motif untuk memperbesar sanksi dengan cara menunda proses pemeriksaan hingga lebih dari dua tahun setelah masa pajak berakhir. Ia menyerukan reformasi dalam pelaksanaan pemeriksaan pajak agar tidak menjerat warga yang seharusnya dibimbing, bukan diperas.
Sebagai bentuk keterbukaan, Antono menyatakan bersedia membuka seluruh dokumen pajaknya kepada publik dan mengundang pihak terkait untuk diskusi langsung di Kantor IWPI. Undangan ini ditujukan kepada DJunaidi, Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Dirjen Pajak Bimo Wijayanto, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, serta Bupati Bojonegoro.
Tanggung Jawab Negara Melindungi Rakyat dari Aparat Rakus
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menegaskan kembali tiga tugas dasar negara: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Negara harus berdiri di pihak warga, bukan membiarkan mereka diperas oleh birokrasi.
“Kalau rakyat diperas oleh pejabat publik, maka negara sedang gagal menjalankan tugasnya. Kita tak bisa diam,” tegas Rinto. Partai X menilai apa yang menimpa Antono merupakan refleksi kegagalan negara dalam menjamin sistem perpajakan yang transparan dan berpihak kepada rakyat.
Sistem Pajak Tanpa Akuntabilitas Merusak Legitimasi Negara
Praktik pemerasan ini bukan soal satu atau dua oknum. Ini soal sistem yang longgar, yang membiarkan celah korupsi tumbuh di tubuh negara. Rinto menyoroti betapa mengkhawatirkannya fakta bahwa warga yang membayar pajak justru diintimidasi oleh institusi pemungut pajak.
Partai X menuntut agar Kementerian Keuangan membuka seluruh proses audit dan penagihan pajak secara transparan. Semua aparat pajak yang disebut harus diperiksa kekayaannya secara terbuka. “Negara harus menjawab, bukan sembunyi di balik klarifikasi anonim,” tegasnya.
Menurut prinsip Partai X, pemerintah adalah sebagian kecil rakyat yang diberi amanah untuk membuat dan menjalankan kebijakan demi keadilan. Jika amanah ini disalahgunakan untuk menindas, maka pemerintahan itu tidak sah secara moral dan etika politik.
Pajak seharusnya menjadi alat gotong royong untuk membiayai negara, bukan menjadi alat intimidasi untuk memperkaya segelintir pejabat. Jika rakyat takut bayar pajak karena takut diperas, maka sistem itu sudah cacat dari akarnya.
Solusi Partai X: Audit Terbuka, Pelibatan Masyarakat, dan Perlindungan Pelapor
Partai X menyerukan reformasi total sistem pemeriksaan pajak. Pertama, audit terbuka dan digital harus diterapkan agar prosesnya tidak disalahgunakan. Kedua, pelibatan masyarakat sipil, seperti IWPI, dalam pengawasan perpajakan harus dilembagakan secara resmi. Ketiga, semua warga yang melaporkan dugaan pemerasan harus dilindungi oleh hukum.
Partai X juga menyerukan pendirian Ombudsman Perpajakan yang independen dari Kementerian Keuangan. Lembaga ini akan menerima pengaduan, mengawasi proses pemeriksaan, dan memberikan rekomendasi sanksi kepada pelanggar.
“Jika benar ada pegawai pajak dengan kekayaan miliaran tak wajar, harus segera diperiksa KPK,” tegas Rinto. “Negara tidak boleh diam saat rakyatnya berani bersuara.”
Sebagai partai yang berpihak pada rakyat, Partai X menolak keras sistem perpajakan yang eksploitatif. Negara harus kembali menjadi pelayan dan pelindung, bukan predator atas nama pajak. Ini saatnya menata ulang fondasi keuangan negara berdasarkan prinsip keadilan, keterbukaan, dan akuntabilitas. Jika tidak, maka rakyat akan terus jadi korban, dan negara akan kehilangan legitimasinya.