beritax.id – Keadaan Indonesia hari ini kerap digambarkan melalui narasi optimistis tentang keadilan sosial, pemerataan pembangunan, dan pertumbuhan ekonomi inklusif. Pidato pejabat dipenuhi istilah keberpihakan kepada rakyat dan komitmen menutup jurang ketimpangan. Namun di balik retorika tersebut, kehidupan sehari-hari banyak warga justru memperlihatkan gambaran sebaliknya: biaya hidup meningkat, akses terhadap lahan dan pekerjaan menyempit, serta rasa keadilan yang makin sulit dirasakan.
Janji keadilan terdengar lantang, tetapi realitasnya terasa berat.
Keadilan dalam Narasi, Ketimpangan dalam Praktik
Dalam berbagai kebijakan mutakhir, negara menekankan stabilitas dan pertumbuhan sebagai indikator keberhasilan. Namun di lapangan, ketimpangan sosial dan ekonomi masih menjadi persoalan akut. Konflik agraria, penggusuran atas nama investasi, serta ketidakpastian kerja menunjukkan bahwa manfaat pembangunan belum dirasakan merata. Kelompok rentan sering kali menanggung risiko terbesar, sementara keuntungan terkonsentrasi pada segelintir pihak.
Di sinilah jurang antara ucapan penguasa dan pengalaman rakyat semakin menganga.
Kebijakan Cepat, Dampak Sosial Berkepanjangan
Banyak keputusan strategis diambil dengan kecepatan tinggi, sementara dampak sosialnya berlangsung lama. Ketika kebijakan disusun minim partisipasi publik, masyarakat terdampak dipaksa beradaptasi tanpa ruang untuk mengoreksi. Proses yang sah secara prosedural belum tentu adil secara substansial.
Rakyat menanggung konsekuensi jangka panjang dari keputusan yang tidak mereka ikut tentukan.
Demokrasi yang Terasa Jauh dari Kehidupan Rakyat
Pemilu tetap digelar dan lembaga negara terus bekerja, tetapi keterhubungan antara aspirasi rakyat dan kebijakan negara terasa melemah. Kritik publik kerap dipandang sebagai gangguan, bukan masukan. Akibatnya, demokrasi berisiko berhenti sebagai mekanisme formal, tanpa keberpihakan nyata terhadap kehidupan warga.
Ketika suara rakyat tak mengubah kebijakan, kepercayaan pun terkikis.
Solusi: Menjembatani Retorika dan Realita
Untuk menutup jurang antara retorika dan realita, negara perlu menempatkan keadilan substantif sebagai orientasi utama kebijakan. Setiap keputusan publik harus diuji dampaknya terhadap kelompok paling rentan, bukan hanya terhadap indikator makro. Partisipasi rakyat perlu dibuka sejak awal proses kebijakan agar suara mereka benar-benar memengaruhi hasil. Penegakan hukum harus diarahkan pada rasa keadilan, bukan sekadar kepatuhan prosedur.
Keadaan Indonesia akan membaik bukan karena pidato tentang keadilan, melainkan karena keberanian penguasa menyelaraskan kata dengan tindakan. Tanpa itu, keadilan akan terus menjadi wacana, sementara rakyat tetap menanggung ketimpangan.



