beritax.id – Setiap kali alam membantai banjir besar terjadi, longsor mengubur rumah, atau kekeringan melanda desa, narasi yang sering muncul adalah rakyat kurang disiplin, warga buang sampah sembarangan, masyarakat tidak merawat lingkungannya. Seolah-olah kerusakan ekologis adalah akibat dari kelalaian warga biasa.
Padahal kebenarannya jauh lebih pahit alam dihancurkan secara sistematis oleh kebijakan yang memberi karpet merah kepada ekspansi korporasi dan penjarahan sumber daya. Rakyat hanya menjadi penonton lalu dijadikan kambing hitam.
Hutan Dibabat, Izin Diberikan, Rakyat yang Disalahkan
Di banyak daerah, kerusakan lingkungan bukan dimulai dari tangan rakyat, tetapi dari pena pejabat yang menandatangani izin:
- izin tambang di area rawan,
- izin perkebunan di kawasan hutan lindung,
- izin industri di daerah aliran sungai,
- pembangunan properti yang menutup ruang resapan air.
Ketika alam berubah agresif, ketika sungai meluap atau tanah bergerak, masyarakat tidak pernah diberi ruang untuk bertanya: siapa sebenarnya yang merusak duluan?
Yang digarisbawahi hanyalah perilaku warga bukan ekspansi besar-besaran yang mengubah wajah ekosistem.
Pembangunan yang Tidak Menghitung Daya Dukung Alam
“Pertumbuhan ekonomi” sering dijadikan alasan untuk membuka lahan, mengubah peruntukan alam, atau mengejar investasi yang tidak memperhitungkan risiko ekologis.
Namun pembangunan yang melawan hukum alam selalu menagih balas:
- banjir bandang,
- kekeringan berkepanjangan,
- krisis pangan lokal,
- kualitas udara yang menurun,
- kerusakan sumber air bersih.
Alam tidak membalas. Alam hanya kembali menyeimbangkan dirinya tetapi manusia yang menanggung akibatnya.
Rakyat Tidak Pernah Menikmati Keuntungan dari Perusakan Alam
Ironi besar kerusakan lingkungan di Indonesia adalah bahwa mereka yang paling menderita tidak pernah menikmati manfaat ekonominya. Rakyat hanya menerima dua hal: debu dan bencana.
Sementara mereka yang meraup keuntungan justru sering dilindungi oleh regulasi longgar, pengawasan lemah, dan sistem hukum yang tidak tegas.
Rakyat disalahkan atas dampak dari kerusakan yang mereka tidak ciptakan.
Bencana Ekologis Disebut Bencana Alam untuk Menutupi Pelanggaran Manusia
Frasa “bencana alam” terlalu sering digunakan sebagai tameng. Padahal banyak bencana bukanlah peristiwa alam murni:
- banjir karena hulu rusak,
- longsor karena lereng diganggu,
- kekeringan karena daerah resapan hilang,
- pencemaran karena limbah industri,
- abrasi karena reklamasi berlebihan.
Ketika faktor manusia dihapus dari narasi, maka akar masalah ikut dihapus. Dan selama akar masalah tidak diakui, bencana akan tetap berulang.
Negara Seharusnya Menjadi Penjaga, Bukan Sekadar Pengamat
Tugas negara adalah melindungi rakyat dan alam yang menopang kehidupan rakyat. Namun kerusakan lingkungan menunjukkan bahwa fungsi mengatur dan melindungi belum dijalankan sepenuhnya.
Negara seharusnya:
- memastikan izin diberikan berdasarkan ilmu, bukan tekanan modal,
- mengutamakan keberlanjutan, bukan kepentingan jangka pendek,
- mengawasi korporasi secara ketat,
- berpihak pada masyarakat, bukan pada perusak alam.
Ketika negara tidak hadir, rakyat kehilangan pelindung, dan alam kehilangan penjaga
Solusi: Mengakhiri Drama Lama dengan Kebijakan yang Kembali ke Nurani
Untuk menghentikan kerusakan ekologis yang disertai praktik menyalahkan rakyat, langkah-langkah strategis diperlukan sesuai arah penyembuhan bangsa:
- Reformasi tata kelola lingkungan berbasis kepakaran ilmiah
- Digitalisasi penuh sistem izin dan pengawasan lingkungan
- Amandemen kebijakan yang menempatkan alam sebagai aset publik
- Musyawarah Kenegarawanan nasional terkait tata ruang dan sumber daya alam
- Penegakan hukum tanpa pandang bulu terhadap pelaku perusakan lingkungan
- Pemurnian nilai Pancasila dalam kebijakan ekologis
Alam Tidak Pernah Melawan, Ia Hanya Mengingatkan
Setiap banjir bandang, setiap tanah longsor, setiap sungai yang berubah warna, setiap udara yang menghitam semuanya adalah peringatan.
Peringatan bahwa alam terlalu banyak disakiti. Peringatan bahwa rakyat tidak seharusnya disalahkan.
Jika alam dibantai, ia akan mencari keseimbangannya. Jika rakyat terus disalahkan, luka sosial akan melebar. Dan jika negara tidak bertindak, drama lama ini akan terus berulang.
Indonesia masih bisa diselamatkan asalkan kita mau berhenti menyalahkan rakyat, dan mulai menyasar akar kerusakan: ketamakan dan kebijakan yang salah arah.



