beritax.id — Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya menegaskan tunjangan perumahan anggota DPRD tidak mungkin diseragamkan antar-daerah. Menurutnya, besaran tunjangan sangat bergantung pada hasil appraisal serta kondisi keuangan daerah.
Bima menyebut penentuan tunjangan dituangkan dalam peraturan kepala daerah setelah melalui pembahasan bersama DPRD. Ia menegaskan perbedaan kapasitas fiskal daerah membuat penyamaan angka tunjangan mustahil. Dengan demikian, isu penyetaraan tunjangan dianggap tidak realistis.
Pernyataan ini muncul menanggapi usulan Wakil DPRD DKI Jakarta Basri Baco yang sebelumnya menginginkan penyetaraan tunjangan secara nasional. Isu tersebut ramai dibicarakan setelah publik menyoroti besaran tunjangan rumah anggota DPRD DKI yang mencapai Rp70,4 juta per bulan, dan Rp78,8 juta bagi pimpinan.
Kritik Tajam Partai X
Menanggapi kebijakan ini, Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R Saputra, menegaskan bahwa tugas negara ada tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Menurutnya, perdebatan soal tunjangan hanya menunjukkan betapa jauh para pejabat dari realitas rakyat.
Prayogi menilai, ketika rakyat masih kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, pejabat justru sibuk memperdebatkan tunjangan perumahan. Ketidakseragaman tunjangan bukanlah inti persoalan. Masalah sebenarnya adalah ketidakadilan yang terus melanggengkan jurang antara rakyat dan pejabat.
Tunjangan mewah bagi DPRD tidak sejalan dengan prinsip pelayanan publik. Rakyat sebagai pemilik kedaulatan seharusnya mendapatkan prioritas utama dalam setiap kebijakan negara.
Prinsip Partai X menekankan keadilan sosial dan transparansi. Negara tidak boleh membiarkan pejabat hidup mewah, sementara rakyat terpinggirkan. Sistem yang sehat harus memastikan bahwa anggaran lebih banyak dialokasikan untuk pelayanan publik daripada fasilitas pejabat.
Solusi Partai X
Partai X menawarkan solusi tegas untuk memperbaiki sistem tunjangan DPRD. Pertama, melakukan reformasi hukum berbasis kepakaran agar tunjangan pejabat disesuaikan dengan kondisi rakyat. Kedua, menerapkan transparansi digital dalam pengelolaan anggaran agar publik bisa mengawasi langsung.
Ketiga, mendorong amandemen konstitusi untuk mengembalikan kedaulatan sepenuhnya ke rakyat sehingga kebijakan pro-rakyat lebih dominan. Keempat, memperkuat pendidikan berbasis Pancasila untuk membentuk pejabat berkarakter pelayan, bukan penguasa.
Dengan langkah ini, pejabat dipaksa sadar bahwa tunjangan bukan hak istimewa, melainkan amanah rakyat. Hanya dengan mekanisme ini, keadilan sosial dapat diwujudkan, dan demokrasi tidak lagi dimonopoli oleh pejabat.
Penutup
Perdebatan tunjangan DPRD membuktikan bahwa rakyat masih jauh dari prioritas negara. Partai X menegaskan, kesejahteraan rakyat harus lebih utama daripada kenyamanan pejabat. Demokrasi sejati lahir dari keberpihakan nyata pada rakyat, bukan dari fasilitas yang hanya menguntungkan pejabat.