Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Kata “keadilan” menjadi mantra yang sering diucapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani setiap kali bicara soal pajak. Pajak disebutnya gotong royong, instrumen pemerataan, hingga simbol keadilan fiskal. Namun di balik retorika itu, rakyat dikejutkan oleh kenyataan pahit: pajak penghasilan pejabat negara, anggota DPR, TNI/Polri, hingga pensiunan, ternyata tidak dipotong dari gaji mereka, melainkan ditanggung pemerintah melalui APBN dan APBD.
Aturan ini bukan kabar baru. Ia jelas tercatat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010 tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21. Di sana disebutkan, pajak atas penghasilan tetap dan teratur pejabat negara ditanggung negara. Bahkan untuk honorarium, tarif maksimal hanya 15 persen. Sementara rakyat, sebagai pemilik kedaulatan negara, dikenai tarif progresif yang bisa tembus 35 persen.
Daftar pejabat yang menikmati fasilitas ini pun panjang. Presiden dan Wakil Presiden, anggota MPR, DPR, dan DPD, para hakim agung dan hakim konstitusi, pimpinan BPK, KY, dan KPK, para menteri, gubernur, bupati, hingga wali kota. Singkatnya, hampir seluruh pejabat di eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sementara rakyat yang berprofesi buruh, pedagang, pegawai swasta, profesional, hingga UMKM, dipaksa membayar penuh.
Di titik ini, slogan keadilan pajak terasa sebagai ironi. Rakyat yang mestinya dilindungi justru diperas, pejabat yang mestinya memberi teladan justru dimanjakan. Rakyat yang setiap hari berjibaku mencari nafkah dipaksa menanggung beban fiskal negara, sementara pejabat yang hidup dengan segala fasilitas justru bebas dari kewajiban yang sama.
Keadilan Seakan Buntu
Lebih pahit lagi, jika rakyat mencoba mencari keadilan, jalannya seakan buntu. Aparat pajak tunduk pada sistem yang sama. Pengadilan pajak berada dalam lingkaran otoritas eksekutif. Dan hampir semua pejabat di puncak kekuasaan telah menikmati keringanan yang membuat mereka sulit berpihak pada penderitaan rakyat.
Maka pertanyaan yang wajar muncul: ketika Sri Mulyani berkata pajak naik demi keadilan, keadilan untuk siapa? Bagi rakyat yang dipaksa membayar hingga 35 persen, atau bagi pejabat negara yang pajaknya justru ditanggung APBN?
Jawabannya sudah jelas. Dalam republik ini, rakyatlah yang terus diperas, sementara pejabat dilindungi dengan regulasi. Dan selama sistem ini dibiarkan, kata “keadilan” hanya akan menjadi retorika kosong yang menipu hati rakyat.