beritax.id – Rencana pembangunan kampung haji Indonesia di Makkah kembali mencuat. CEO Danantara, Rosan P. Roeslani, mengungkap bahwa perusahaannya ditunjuk untuk memimpin pembelian tanah di Arab Saudi guna mendirikan kawasan tersebut. Meski belum dipastikan apakah dana pembelian berasal dari pemerintah, BUMN, atau dana swasta, Rosan memastikan proyek ini akan melibatkan skema komersial. Bahkan, pemerintah Saudi disebut telah menyiapkan delapan plot tanah yang lokasinya sangat dekat dengan Makkah.
Meski digadang-gadang untuk memudahkan jemaah haji dan umrah, rencana itu justru menimbulkan tanda tanya besar. Seberapa besar manfaat yang benar-benar dirasakan rakyat dibanding kepentingan bisnis di baliknya?
Partai X: Jangan Jadikan Ibadah sebagai Alibi Proyek Penguasa
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X-Institute, Prayogi R. Saputra, menyatakan bahwa negara memiliki tiga tugas utama: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. “Yang dilakukan Danantara justru melompati tugas negara, dengan menjadikan ibadah haji sebagai alat pembuka jalan investasi komersial,” ujar Prayogi.
Menurutnya, ibadah tidak boleh dijadikan kedok untuk menjustifikasi pengambilalihan lahan asing, apalagi jika belum jelas pertanggungjawaban sosialnya. Ia mempertanyakan: apakah kampung haji ini untuk rakyat umum atau hanya untuk jemaah berduit?
Dalam prinsip Partai X, negara harus dijalankan oleh pemerintah sebagai wakil rakyat, yang bertugas membuat kebijakan secara efektif, efisien, dan transparan demi keadilan dan kesejahteraan.
Maka, setiap bentuk kegiatan luar negeri apalagi yang bersifat strategis dan menyangkut tanah di negara lain harus mengedepankan prinsip transparansi, partisipasi publik, dan keberpihakan kepada masyarakat umum.
Jika tidak, maka proyek tersebut hanyalah simbol kekuasaan tanpa jiwa negara.
Solusi Partai X: Transparansi Dana, Audit Kepentingan Publik, dan Wakaf Negara
Partai X menawarkan solusi konkret. Pertama, audit penuh terhadap pembiayaan kampung haji, baik sumber dan alokasinya. Kedua, proyek harus tunduk pada prinsip keterbukaan publik, dengan publikasi berkala kepada rakyat. Ketiga, apabila proyek ini untuk rakyat, maka bentuknya harus berupa aset wakaf negara dan bukan properti komersial milik perusahaan.
Terakhir, evaluasi dilakukan oleh lembaga independen yang melibatkan ormas Islam, akademisi, dan masyarakat sipil agar tidak menjadi proyek penguasa yang membonceng nama ibadah.
Penutup: Jangan Biarkan Kesucian Jadi Komoditas
Partai X menegaskan bahwa ibadah haji tidak boleh dikomodifikasi menjadi proyek bisnis bertopeng pelayanan. Pemerintah harus menjamin bahwa setiap kebijakan luar negeri yang menyangkut kepentingan keagamaan benar-benar dilandasi oleh semangat melayani rakyat, bukan melayani kekuasaan dan oligarki.
Jika kampung haji dijalankan tanpa kontrol publik, itu bukan lagi pelayanan. Itu adalah penjajahan spiritual bergaya baru.