beritax.id – Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti menyatakan bahwa pelaksanaan Sekolah Rakyat telah sesuai kurikulum. Program prioritas Presiden Prabowo ini berbasis asrama dan disebut mendukung pengentasan kemiskinan. Ia menegaskan kurikulumnya disusun tiga kementerian yaitu Pendidikan Dasar dan Menengah, Sosial, serta Agama. Pelaksanaan Sekolah Rakyat juga memungkinkan siswa masuk kapan saja, tanpa menunggu awal tahun ajaran. Biaya pendidikan, akomodasi, dan kebutuhan dasar siswa ditanggung negara. Namun, di balik narasi resmi ini, Partai X menilai ada keganjilan mendasar dalam perumusan serta pelaksanaannya.
Partai X: Kurikulum Tak Boleh Jadi Legalisasi Proyek Penguasa
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, mengkritik keras pendekatan program tersebut. Ia mempertanyakan, kurikulum siapa yang sebenarnya digunakan? Rakyat atau para pejabat? “Jika benar ingin memuliakan rakyat, maka suara rakyat harus menjadi basis kurikulum, bukan kepentingan kekuasaan sesaat,” tegasnya. Menurut Partai X, tugas negara ada tiga yaitu melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Namun ketika negara menyusun kurikulum tanpa partisipasi rakyat, maka itu bukan lagi pengaturan, tapi pemaksaan.
Bagi Partai X, pendidikan tidak boleh menjadi komoditas atau sarana pencitraan penguasa. Pendidikan harus dipandang sebagai kekuasaan keadilan. Sekolah Rakyat tidak bisa hanya dilihat dari bentuk fisik, biaya gratis, atau asrama. Ia harus diuji dari dampaknya: apakah membuat anak-anak desa lebih merdeka berpikir? Apakah guru-gurunya diambil dari putra daerah atau sekadar relokasi ASN? Jika tidak, maka program ini hanya akan menjadi proyek baru yang memperpanjang ketimpangan.
Dalam dokumen prinsip Partai X, negara adalah entitas yang bertugas mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Pemerintah, sebagai bagian kecil dari rakyat, harus menjalankan kewenangan secara efektif, efisien, dan transparan.
Namun pada kasus Sekolah Rakyat, Partai X menilai tidak ada transparansi dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun penilaian program. “Kapan rakyat dilibatkan dalam menentukan isi kurikulum? Bagaimana akuntabilitas anggaran? Ini semua harus jelas,” tegas Rinto.
Solusi Partai X: Sekolah Rakyat Berbasis Komunitas, Bukan Sentralisasi
Partai X mendorong solusi konkret. Pertama, kurikulum Sekolah Rakyat harus disusun melalui dialog dengan komunitas pendidikan di daerah. Kedua, perekrutan tenaga pengajar harus memprioritaskan putra-putri daerah yang memahami konteks lokal. Ketiga, sistem evaluasi berbasis dampak sosial, bukan sekadar jumlah siswa. Keempat, seluruh pembiayaan program harus dibuka ke publik dalam sistem digital yang bisa diakses setiap warga. “Jika pendidikan hendak menyejahterakan rakyat, maka rakyat harus jadi aktor utama, bukan objek pasif,” tegas Partai X.
Partai X kembali mengingatkan, negara ini tidak butuh lagi proyek pendidikan yang hanya menjual mimpi lewat brosur resmi. Yang dibutuhkan adalah pendidikan yang berpihak pada realitas rakyat. Pendidikan yang tak hanya menghafal sila, tapi menghidupi keadilan sosial dalam praktiknya. Maka, pertanyaan Partai X kepada pemerintah yaitu kurikulum siapa yang Anda banggakan? Untuk rakyat, atau untuk memoles reputasi penguasa?