beritax.id – Bagi perusahaan distributor yang menggunakan kantor dan gudang atas nama pribadi tanpa pembayaran sewa, pertanyaan dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) mengenai perjanjian sewa menyewa adalah hal yang lumrah. Situasi ini kerap menimbulkan kebingungan, apakah perusahaan harus membayar sewa, atau bisa menggunakan skema pinjam pakai?
Mari kita bedah perbedaan fundamental antara dua skema ini dan implikasinya dari sisi perpajakan, agar Anda bisa membuat keputusan yang tepat.
Memahami Konsep Dasar: Sewa Menyewa dan Pinjam Pakai
Di mata hukum dan pajak, terdapat perbedaan signifikan antara “sewa menyewa” dan “pinjam pakai.”
1. Sewa Menyewa
Sewa menyewa adalah perjanjian di mana pemilik properti (pihak yang menyewakan) memberikan hak penggunaan propertinya kepada pihak lain (penyewa) untuk jangka waktu tertentu, dengan imbalan pembayaran sejumlah uang sewa.
Implikasi Perpajakan:
- Bagi Pemilik Properti (Pihak yang Menyewakan): Penghasilan sewa yang diterima merupakan objek Pajak Penghasilan (PPh). Jika pemilik adalah orang pribadi, umumnya akan dikenakan PPh Final atas penghasilan sewa tanah dan/atau bangunan sebesar 10% dari jumlah bruto nilai sewa.
- Bagi Perusahaan (Penyewa): Biaya sewa yang dibayarkan dapat dibebankan sebagai biaya dalam perhitungan PPh Badan perusahaan, asalkan memenuhi syarat sebagai biaya yang terkait langsung dengan kegiatan usaha perusahaan.
2. Pinjam Pakai
Pinjam pakai adalah perjanjian di mana pemilik properti (pemberi pinjaman) menyerahkan penggunaan propertinya secara cuma-cuma (gratis) kepada pihak lain (peminjam) untuk jangka waktu tertentu. Artinya, tidak ada pembayaran imbalan sewa yang terjadi dalam skema ini.
Dasar Hukum:
Secara hukum perdata, pinjam pakai diatur dalam Pasal 1740 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang menyatakan: “Pinjam pakai adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu barang kepada pihak yang lain untuk dipakai dengan cuma-cuma, dengan syarat bahwa pihak yang menerima barang itu wajib mengembalikannya sesudah memakainya atau sesudah waktu yang ditentukan.”
Implikasi Perpajakan:
- Bagi Pemilik Properti: Karena tidak ada penghasilan sewa yang diterima, pemilik properti tidak memiliki kewajiban PPh atas sewa.
- Bagi Perusahaan: Perusahaan tidak dapat membukukan atau mengakui biaya sewa dalam laporan keuangannya, karena memang tidak ada biaya yang dibayarkan.
- Potensi Koreksi KPP: KPP dapat mempertanyakan skema ini, terutama jika ada hubungan istimewa antara pemilik properti dan perusahaan (misalnya, pemilik adalah pemegang saham atau direktur). KPP bisa mencurigai adanya indikasi penghindaran pajak atau adanya pemberian fasilitas/kenikmatan yang seharusnya menjadi objek PPh Pasal 21 bagi penerima.
Mengapa KPP Mempertanyakan Skema “Gratis”?
Petugas pajak (AR KPP) memiliki alasan kuat untuk mempertanyakan penggunaan properti secara gratis, antara lain:
- Potensi Penghindaran Pajak: Jika tidak ada sewa, maka tidak ada penghasilan sewa yang dilaporkan oleh pemilik properti, sehingga tidak ada PPh atas sewa yang dipungut. Namun, perusahaan tetap menggunakan properti untuk kegiatan usahanya dan mungkin membebankan biaya-biaya terkait properti lainnya (PBB, listrik, air, perawatan).
- Kewajaran Biaya: Dalam prinsip akuntansi dan perpajakan, setiap transaksi harus didasarkan pada harga pasar atau kewajaran. Penggunaan properti secara cuma-cuma bisa menimbulkan pertanyaan tentang kewajaran dan apakah ada unsur “hadiah” atau “sumbangan” terselubung yang bisa memiliki implikasi pajak berbeda.
- Koreksi Biaya Perusahaan: Jika perusahaan mengklaim biaya-biaya terkait penggunaan properti (misalnya PBB, biaya perawatan, dll.) tanpa adanya dasar hak penggunaan yang jelas (sewa), AR dapat melakukan koreksi atas biaya tersebut.
Dasar Hukum Pajak Penghasilan (PPh) Terkait
Untuk memberikan landasan yang kuat, berikut adalah beberapa pasal penting dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang relevan dengan pembahasan ini:
Pasal 4 ayat (1) UU PPh
Pasal ini mengatur tentang definisi objek Pajak Penghasilan.
“Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan. Dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Termasuk penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh. Termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.”
Dalam konteks sewa, penghasilan sewa yang diterima pemilik properti termasuk dalam pengertian “penghasilan” ini.
Pasal 6 ayat (1) UU PPh
Pasal ini mengatur tentang biaya-biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto untuk menentukan penghasilan kena pajak.
“Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap ditentukan.
Berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa. Termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan. Hal tersebut dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya promosi dan penjualan. Hal ini diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan.”
Poin “sewa” secara eksplisit disebutkan sebagai biaya yang dapat dikurangkan. Ini berarti jika perusahaan membayar sewa, biaya tersebut dapat dibiayakan.
Pasal 9 ayat (1) UU PPh
Pasal ini mengatur tentang biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak (WP) dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:
- pembagian laba dengan nama dalam bentuk apa pun seperti dividen. Termasuk dividen yang dibayarkan kepada pemegang polis asuransi dan pembagian Sisa Hasil Usaha koperasi;
- biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi WP atau orang yang menjadi tanggungannya;
- Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain. Dimana yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;
- Premi asuransi kesehatan, seperti asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa yang dibayar Wajib Pajak orang pribadi. Kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi itu dihitung sebagai penghasilan bagi WP yang bersangkutan.
- Penggantian atau imbalan sehubungan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan PMK;
- Jumlah yang melebihi kewajaran: dibayarkan kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
- Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;
- Pajak Penghasilan;
- Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;
- Gaji yang dibayarkan ke anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;
- Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan Perpu di bidang perpajakan.
Pasal ini penting karena jika KPP menilai penggunaan properti cuma-cuma sebagai bentuk “kenikmatan” (huruf e) atau transaksi yang tidak wajar karena “hubungan istimewa” (huruf f), maka biaya terkait tidak dapat dibiayakan.
Pilihan Anda: Sewa Menyewa atau Pinjam Pakai?
Secara ideal, untuk tujuan kepastian hukum dan perpajakan yang jelas, membuat perjanjian sewa menyewa dengan pembayaran sewa (walaupun nominalnya disepakati sesuai kewajaran) akan lebih disarankan. Ini memberikan dasar yang kuat untuk pengakuan biaya bagi perusahaan dan pengakuan penghasilan bagi pemilik.
Namun, skema pinjam pakai juga dimungkinkan, asalkan Anda dapat membuktikan dan menjelaskan secara transparan kepada KPP bahwa memang tidak ada transaksi sewa yang terjadi.
Opsi 1: Membuat Perjanjian Sewa Menyewa (Sangat Disarankan)
Ini adalah opsi terbaik untuk kepatuhan dan kepastian perpajakan.
- Buat Perjanjian Sewa Tertulis: Susun perjanjian sewa-menyewa yang jelas antara pemilik properti (pribadi) dan perusahaan Anda. Pastikan perjanjian ini mencakup detail seperti jangka waktu, hak dan kewajiban masing-masing pihak, dan nilai sewa.
- Nilai Sewa yang Wajar: Tetapkan nilai sewa yang wajar, sesuai dengan harga pasar properti sejenis di lokasi yang sama. Ini penting untuk menghindari koreksi dari KPP.
- Implikasi Pajak: Pemilik properti akan membayar PPh Final atas penghasilan sewa (10%), dan perusahaan Anda dapat membebankan biaya sewa dalam laporan keuangannya sebagai pengurang penghasilan kena pajak, sesuai Pasal 6 ayat (1) UU PPh.
Opsi 2: Membuat Perjanjian Pinjam Pakai Tertulis (Jika Benar-benar Cuma-Cuma)
Jika Anda benar-benar tidak ingin ada pembayaran sewa, opsi ini bisa dipertimbangkan, tetapi dengan persiapan yang matang:
- Perjanjian Pinjam Pakai yang Kuat: Buat perjanjian pinjam pakai secara tertulis dan terperinci. Pastikan perjanjian ini secara jelas menyatakan bahwa penggunaan properti adalah cuma-cuma dan tidak ada imbalan sewa dalam bentuk apapun.
- Tidak Ada Biaya Sewa: Pahami bahwa perusahaan Anda tidak dapat membukukan atau mengklaim biaya sewa dalam laporan keuangannya, karena memang tidak ada biaya yang dikeluarkan untuk sewa.
- Siapkan Diri untuk Penjelasan: Anda harus siap menjelaskan dan memberikan bukti kepada AR KPP jika mereka mempertanyakan alasan di balik skema pinjam pakai ini. Terutama jika ada hubungan istimewa (misalnya, pemilik properti adalah pemegang saham atau direksi perusahaan), KPP mungkin akan menguji apakah ini merupakan transaksi yang wajar atau ada unsur pemberian fasilitas atau kenikmatan yang bisa diatur oleh Pasal 9 ayat (1) huruf e atau f UU PPh.
Rekomendasi Penting
Pertimbangan utama dalam memilih skema adalah hubungan antara pemilik properti dengan perusahaan. Jika pemilik properti adalah pemegang saham utama, direktur, atau pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan, KPP akan lebih cermat dalam menguji kewajaran transaksi.
Mengingat kompleksitas dan potensi risiko perpajakan, sangat disarankan untuk berkonsultasi dengan konsultan pajak Anda. Mereka dapat membantu Anda:
- Menganalisis situasi spesifik perusahaan Anda.
- Menyusun perjanjian sewa menyewa atau pinjam pakai yang sah dan kuat.
- Memberikan panduan mengenai kewajiban perpajakan yang relevan.
- Membantu Anda dalam menghadapi pertanyaan dari KPP.
Dengan perencanaan yang matang dan pemahaman yang jelas tentang implikasi hukum serta perpajakan. Anda dapat memastikan kepatuhan perusahaan Anda dan menghindari masalah di kemudian hari.
Penulis adalah Sekjen Perkumpulan Profesi Pengacara Praktisi Pajak Indonesia (P5I) dan Pembina Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) yaitu Dharmawan, S.E., S.H., M.H., BKP., CCL.
Email: [email protected]
Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.