beritax.id — Suasana di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pagi itu terasa berbeda. Tepat pukul 09.00 WIB tanggal 8 Juli 2025, sidang perdana perkara perdata nomor 406/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst resmi dibuka. Sidang ini menjadi panggung pertama bagi gugatan Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) terhadap Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati.
Namun, satu hal yang langsung menyita perhatian: Sri Mulyani tidak hadir. Tidak ada surat keterangan, tidak ada alasan resmi. Hening yang menyisakan tanda tanya besar di tengah publik.
IWPI Hadir, Sri Mulyani Mangkir
IWPI hadir lengkap, diwakili kuasa hukumnya Yusman Arifin, S.H., menunjukkan rasa hormat pada hukum dan rakyat yang diwakilinya. Persidangan dipimpin oleh Hakim Ketua Fajar Kusuma, SH., MH., dengan dua hakim anggota: Khusnul Khatimah, SH., MH., dan Adek Nurhadi, SH.
Sementara itu, kursi Sri Mulyani kosong. Pejabat publik yang selama ini gencar menuntut rakyat untuk patuh dan taat pajak, justru mangkir di ruang pengadilan tanpa alasan.
Absen Tanpa Alasan, Etika Terluka
Dalam sidang perdata, benar bahwa kehadiran pribadi tidak selalu diwajibkan secara mutlak. Namun bagi pejabat publik, apalagi seorang menteri, kehadiran di sidang pertama, terlebih sidang mediasi, adalah simbol penghormatan terhadap hukum dan rakyat.
Ketua Umum IWPI, Rinto Setiyawan, menyatakan kekecewaannya secara terbuka.
“Sri Mulyani sering berkata bahwa Kemenkeu selalu patuh pada peraturan. Tapi dengan tidak hadir tanpa alasan, ia justru menampar prinsip Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang menegaskan kesamaan kedudukan di hadapan hukum,” tegas Rinto.
Ia juga menyoroti bahwa sikap tersebut mencederai nilai Pancasila: mengembangkan sikap adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan hak dan kewajiban, serta menghormati hak orang lain.
Rakyat Wajib Hadir, Pejabat Bebas Mangkir?
Ironis. Ketika wajib pajak mangkir dari pemeriksaan, mereka dicap tidak kooperatif, bahkan bisa dikenai sanksi berat. Namun ketika pejabat publik tidak hadir saat dipanggil pengadilan, publik hanya diberi diam.
Apakah keadilan hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas?
Ahli Hukum Pajak: Negara Menuju Taxstaat
Ahli hukum pajak, Dr. Alessandro Rey, juga memberikan sorotan keras. Menurutnya, ketidakhadiran Sri Mulyani memperkuat citra Indonesia yang sedang bergeser dari negara hukum (Rechtsstaat) menuju Taxstaat, negara yang diatur penuh oleh logika pajak dan kuasa fiskal.
“Kalau pejabat tidak mau hadir saat dipanggil rakyat, itu artinya pemerintah bukan lagi abdi rakyat, melainkan penguasa di atas rakyat,” ungkap Dr. Rey.
Kontras Tajam
Gugatan IWPI bukan semata-mata soal nominal atau perbedaan tafsir pajak, tapi tentang keadilan konstitusional. Tentang apakah pejabat benar-benar masih bisa kita sebut “pelayan rakyat” atau justru sudah berubah menjadi “penguasa” yang tak tersentuh.
Pesan Nurani: Siapa Majikan Sebenarnya?
Di akhir, mari kita resapi pandangan tajam yang pernah disampaikan Cak Nun:
“Rakyat membangun ‘Rumah’ yang bernama Negara beserta tata aturannya (konstitusi, hukum dan tata kelola atau birokrasi). Di dalam rumah itu PNS, PSN (Pegawai Sipil Negara), PSR (Pegawai Sipil Rakyat), AR (Abdi Rakyat), PR (Pegawai Rakyat) atau BR (Buruh Rakyat) adalah sekumpulan buruh(nya) rakyat yang digaji, disediakan fasilitas-fasilitas dan dijamin hidupnya hingga meninggal dunia sebatas kemampuan rakyat. Para petugas atau buruh yang digaji rakyat itu sementara ini menyebut dirinya Pemerintah.”
Berdasarkan pandangan Cak Nun, sangat tidak sopan jika buruh (pejabat publik) dipanggil majikannya (rakyat) namun justru tidak hadir.
Pernyataan ini bukan sekadar kritik, tetapi cermin besar bagi pejabat negara untuk berkaca: Apakah masih mau disebut pelayan rakyat, atau sudah menjadi raja di rumah rakyat?
Penutup
Negara yang kuat tidak lahir dari APBN yang gemuk, tapi dari keadilan yang hidup dan rasa percaya rakyat yang tak dikhianati.
“Bagi wajib pajak, bayarlah pajak sesuai kewajiban agar negara kuat. Bagi fiskus, terimalah pajak sesuai hak agar tercipta keadilan.” Itulah Motto IWPI