Pemerintah berkali-kali menyatakan bahwa kondisi ekonomi Indonesia terkendali. Tapi mari kita jujur: rakyat di bawah sedang menjerit. Menurut Bank Indonesia, rupiah menyentuh angka Rp16.275 per dolar AS pada akhir Juni 2025, level terlemah sejak pandemi 2020. Sementara utang pemerintah menurut data Kementerian Keuangan Republik Indonesia justru tembus Rp8.319 triliun per Mei 2025, dan bunga utangnya membebani APBN hingga Rp497 triliun per tahun.
Defisit APBN melebar menjadi 2,5% dari PDB, dan subsidi, yang katanya untuk meredam inflasi ternyata tidak mampu menahan lonjakan harga. Harga beras premium menembus Rp18.000 per kilogram, dan minyak goreng kembali ke atas Rp18.500 per liter, padahal gaji rakyat tetap stagnan.
Jadi pertanyaannya: Narasi “kita baik-baik saja” ini bentuk optimisme atau penyangkalan?
Rakyat Tak Anti Masalah, Tapi Butuh Kejujuran
Rakyat Indonesia tidak takut menghadapi tantangan. Tapi yang dibutuhkan sekarang adalah kejujuran, keterbukaan data, dan arah kebijakan yang jelas. Bukan disuruh “tenang” setiap kali situasi memburuk.
Ketika semua indikator makro ekonomi memberi sinyal waspada, justru pemerintah memilih menyampaikan narasi optimis tanpa strategi konkret. Ini bukan kepemimpinan melainkan ini bentuk pengabaian terhadap realitas sosial ekonomi yang dihadapi masyarakat.
Krisis Bangsa Bukti Pemerintah Lupa Fungsi Negara
Menurut prinsip dasar demokrasi, pemerintah adalah perpanjangan tangan rakyat, bukan entitas tertutup yang mengklaim kebenaran tunggal. Pemerintah bukan pemilik negara, tapi pelayan publik.
Namun, belakangan ini, kritik dianggap subversif. Kritik terhadap harga pangan, terhadap utang, bahkan terhadap tata kelola keuangan negara, dianggap sebagai upaya melemahkan pemerintah. Ini jelas melenceng dari prinsip akuntabilitas.
Mengutip pernyataan Partai X: “Pemerintah itu hanya sebagian kecil dari rakyat yang diberi mandat. Mandat ini bisa dicabut, jika mereka lupa siapa yang mereka wakili.”
Ketika Politik Kehilangan Tujuannya
Politik sejatinya adalah upaya dan bentuk perjuangan untuk mendapatkan dan menjalankan kewenangan secara efektif, efisien, dan transparan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Bukan sekadar alat kekuasaan. Namun dalam praktiknya hari ini, keputusan ekonomi sering kali diambil dengan pertimbangan popularitas semata.
Misalnya, kenaikan utang hingga lebih dari Rp8.300 triliun seharusnya berdampak nyata pada rakyat: pembangunan rumah sakit, pendidikan murah, atau ketersediaan pangan. Namun data BPS per Maret 2025 menunjukkan angka kemiskinan stagnan di 9,4%, dan tingkat pengangguran terbuka justru naik ke 5,8%.
Layanan publik tetap buruk. Antrian BPJS mengular. Obat tidak tersedia. Maka wajar bila publik bertanya: “Untuk siapa sebenarnya kebijakan fiskal itu dibuat?”
Jika politik hanya tentang mempertahankan jabatan, bukan memperjuangkan kesejahteraan rakyat, maka kita sedang melihat sebuah sistem yang kehilangan jiwanya.
Dimana Para Negarawan Saat Krisis Bangsa Terjadi?
Partai X mendefinisikan negarawan sebagai pemimpin yang bijaksana, visioner, dan ahli dalam urusan kenegaraan. Mereka tidak bicara asal, mereka bicara berdasarkan data. Mereka tidak menyalahkan kondisi global. Melainkan menyusun mitigasi dalam negeri.
Namun hari ini, yang tampil justru juru bicara yang meremehkan kekhawatiran rakyat. Yang muncul adalah oknum pejabat yang sibuk mempercantik citra tanpa menghadirkan solusi.
Negarawan seharusnya mengakui krisis secara terbuka, menyusun langkah konkret, dan memberi arah kepada rakyat. Mereka tidak takut mengatakan hal yang tidak populer, selama itu benar. Sayangnya, Indonesia kini tak kekurangan pejabat, tapi mulai kekurangan negarawan.
Rakyat Tidak Diam, Rakyat Sedang Mencari Arah
Rakyat Indonesia bukan apatis. Tapi mereka sudah terlalu sering diminta bersabar, terlalu sering diberi harapan kosong. Kini, rakyat semakin kritis, melek informasi, dan berani bertanya. Dan pertanyaan itu akan terus bergema: “Kapan kita dipimpin dengan jujur? Kapan kita benar-benar dilibatkan?”
Kalau pemerintah terus mengabaikan suara rakyat, maka krisis sesungguhnya bukan di angka-angka makroekonomi, melainkan krisis kepercayaan.
Karena pada akhirnya, legitimasi kekuasaan lahir dari kepercayaan rakyat. Dan jika kepercayaan itu lenyap, maka tak ada narasi yang cukup kuat untuk mempertahankan kekuasaan yang kehilangan arah.
Kita tidak sedang menuntut keajaiban. Kita hanya meminta negara hadir dengan keberanian, keterbukaan, dan ketulusan. Karena seperti yang diyakini Partai X: negara ini ada untuk rakyat, bukan untuk mempertahankan kekuasaan semata.