Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI), Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Hidup itu perang. Bukan sekadar perang fisik, tetapi perang nilai, perang melawan ego, perang melawan kebodohan, perang melawan ketidakadilan, perang melawan sistem yang menindas, dan perang melawan diri sendiri. Itulah salah satu pesan mendalam yang terus diulang Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) dalam berbagai forum Maiyah.
Dalam tulisan beliau “Hidup Itu Wajib Perang”, Cak Nun mengajarkan bahwa segala yang kita jalani ini adalah medan tempur spiritual dan sosial. Bahwa kita ditakdirkan untuk berjuang, bukan hanya demi diri sendiri, tapi demi kemaslahatan umat dan keberlangsungan peradaban. Cak Nun menekankan, hidup adalah peperangan yang wajib, sebuah ketetapan Allah, sunnatullah yang tak bisa ditolak.
Konstitusi Langit: Jalan Alternatif Bangsa
Di tengah berbagai konflik dan kebuntuan nilai yang melanda bangsa ini. Gagasan Konstitusi Langit yang diilhami oleh Cak Nun justru hadir sebagai peta jalan alternatif. Sebuah cita-cita luhur yang bertujuan mengembalikan kedaulatan penuh kepada rakyat. Menjadikan negara bukan sekadar instrumen kekuasaan. Tetapi tapi rumah yang melindungi dan menyejahterakan seluruh anak bangsanya.
Mengapa kita butuh Konstitusi Langit? Karena sistem tata negara kita saat ini ibarat rumah yang salah desain — atap bocor, tembok lembab, kusen keropos, sirkulasi pengap, dan fondasi retak. Oligarki tumbuh subur, rakyat dipinggirkan, dan hukum sering kali dijadikan alat kekuasaan. Semua kerusakan itu lahir karena kita gagal menangkap dan memperjuangkan nilai ilahiah dalam bernegara.
Cak Nun berkali-kali menekankan bahwa perang yang paling penting adalah perang batin. Melawan rasa nyaman dalam ketidakbenaran, melawan kepentingan pribadi yang melampaui kepentingan rakyat. Jika kita tidak berperang melawan ego dan nafsu duniawi, mustahil kita bisa menegakkan sistem ketatanegaraan yang benar dan adil.
Mengutip Surah Al-Baqarah, Ayat 216:
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu. Padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Konstitusi Langit bukan sekadar konsep di atas kertas, melainkan pedoman spiritual dan moral untuk membangun sistem negara yang mendukung keadilan, kesejahteraan, dan kemanusiaan. Konstitusi Langit mengajak kita kembali ke nilai-nilai siddiq (benar dan sungguh-sungguh), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan kebenaran), dan fathanah (cerdas).
Kalau bangsa ini ingin meraih Aziz, kedudukan agung dan dihormati di dunia, maka kita harus melewati tahap kudus (kesucian niat), salam (keamanan), mukmin (saling percaya), dan muhaimin (memelihara). Ini adalah tahapan spiritual yang dirumuskan Cak Nun agar negara tumbuh bukan hanya kuat secara fisik, tapi juga berjiwa.
Di forum-forum Maiyah, Cak Nun kerap mengingatkan kita tentang “Paseduluran Tanpa Tepi”, persaudaraan tanpa batas yang mencakup semua makhluk Tuhan. Bahkan binatang, tumbuhan, batu, dan sungai adalah saudara kita. Maka, membangun negara bukan hanya urusan manusia, tapi juga tanggung jawab menjaga seluruh ciptaan.
Momentum 2025: Saatnya Berjuang
Kalau kita tidak memulai perang batin hari ini, kita akan selamanya terjebak dalam sistem yang merusak, membiarkan oligarki menggerogoti kedaulatan rakyat, dan menuntun bangsa ini menuju kehancuran. Konstitusi Langit adalah jawabannya, tetapi hanya bisa terwujud jika kita mau berperang, berperang melawan ketakutan, berperang melawan kemapanan dalam ketidakbenaran, berperang untuk mewujudkan negara yang benar-benar berdaulat.
Tahun 2025 ini adalah momentum yang tepat. Sebuah era gelap yang penuh kegagalan ekonomi, krisis moral, dan lemahnya kepemimpinan harus dijawab dengan keberanian. Mari kita tanamkan kembali benih-benih gagasan Cak Nun dan memanennya bersama sebagai gerakan kolektif.
Kini saatnya kita berhenti mengeluh dan mulai bergerak. Mari kita berperang, bukan dengan senjata. Tapi dengan kesungguhan hati, pikiran yang jernih, niat yang suci, dan konsistensi dalam mewujudkan Konstitusi Langit ala Cak Nun.