Oleh: Rinto Setiyawan
(Ketua Umum IWPI, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute)
beritax.id – Dalam berbagai kesempatan, Emha Ainun Nadjib atau yang akrab dikenal sebagai Cak Nun, menyampaikan pernyataan yang menggugah: “Konstitusi kita bukan lahir asli dari kita.” Ungkapan ini bukan sekadar kritik, melainkan peringatan keras atas realitas ketatanegaraan Indonesia yang selama ini dibangun di atas fondasi pinjaman, bukan pada nilai-nilai otentik bangsa sendiri.
Konstitusi, dalam pandangan Cak Nun, bukan sekadar kumpulan pasal dan ayat, melainkan roh dan jantung dari bangunan negara. Ia adalah cetak biru nilai, arah, dan nasib bangsa. Maka jika konstitusi itu disusun berdasarkan konsep-konsep kolonial. Produk pemikiran luar yang tidak mengalami langsung denyut rakyat Indonesia, maka hasilnya adalah struktur negara yang rapuh, membingungkan, dan tidak mencerminkan karakter sejati bangsa.
Warisan Belanda dan Tiruan Amerika?
Pasca-kemerdekaan, Indonesia memang menyusun UUD 1945. Namun dalam implementasinya, perubahan demi perubahan, termasuk empat kali amandemen, banyak terinspirasi bahkan meniru model negara-negara Barat. Sistem presidensial ala Amerika, demokrasi liberal, pembagian kekuasaan, hingga mekanisme peradilan. Diadopsi dalam keadaan belum sepenuhnya matang secara sosial, spiritual, dan kultural. Akibatnya, kita terjebak dalam sistem yang megah secara teoritis, namun tidak membumi dalam realitas.
Cak Nun menyebut bahwa sistem ini tidak hanya gagal menyerap nilai-nilai lokal, tapi juga menciptakan alienasi antara rakyat dan negara. Ketika rakyat mencari keadilan, justru mereka dihadapkan pada hukum yang rumit, aparat yang tidak berpihak, dan mekanisme yang mahal serta memenatkan. Bahkan, kata Cak Nun, “Kalau kehilangan kambing, menempuh jalur hukum bisa kehilangan sapi.”
Konstitusi Impor Tidak Bisa Menjawab Krisis Bangsa
Realitas menunjukkan bahwa Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Korupsi merajalela, hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah, rakyat tidak percaya pada parlemen, dan lembaga-lembaga tinggi negara nyaris kehilangan martabat. Bahkan banyak anak muda mulai sinis dan apatis terhadap sistem.
Jika konstitusi adalah fondasi negeri, maka krisis yang berulang ini menunjukkan bahwa fondasi kita retak. Maka sangat masuk akal jika Cak Nun menyerukan: kita butuh konstitusi baru yang lahir dari rahim bangsa sendiri.
Apa Artinya Konstitusi dari Rahim Bangsa Sendiri?
Artinya, kita harus merumuskan ulang dasar negara dan tata kelola kekuasaan berdasarkan nilai-nilai asli Indonesia: dari Pancasila yang membumi, dari tradisi deliberatif musyawarah, dari filosofi gotong royong, dari kebijaksanaan adat dan budaya lokal, dari spiritualitas Nusantara yang tidak memisahkan antara iman dan amanah sosial.
Konstitusi baru ini harus dibangun bukan hanya oleh elite politik atau pakar hukum, tetapi melalui partisipasi rakyat, seniman, petani, tokoh adat, ulama, dan seluruh unsur bangsa. Ia harus menjadi “rahim” yang melahirkan sistem pemerintahan baru yang adil, bersih, dan mampu memelihara martabat rakyat.
Menuju Amandemen Kelima?
Saya, bersama tim Sekolah Negarawan X Institute dan Partai X, telah menyusun draft rancangan Amandemen Kelima UUD 1945. Draft ini mengembalikan MPR sebagai mandataris rakyat dan memasukkan rakyat ke dalam struktur lembaga negara, bukan sekadar objek kebijakan.
Kami memperjuangkan pembagian tegas antara lembaga negara dan lembaga pemerintahan. Kami mendesain badan-badan fungsional negara yang fokus melindungi harta, nyawa, dan martabat rakyat. Ini adalah usaha awal untuk menjawab panggilan Cak Nun, bahwa kita perlu keluar dari imitasi dan berani menjadi diri sendiri sebagai bangsa.
Penutup: Seruan untuk Bangsa
Jika kita tidak berani menyusun lahir konstitusi sendiri, maka selama itu pula kita akan terus menambal bangunan yang bocor, lembab, dan roboh perlahan. Kita hanya akan menjadi bangsa yang menjalankan negara dengan software asing, padahal hardware-nya lokal. Tidak akan kompatibel.
Cak Nun sudah melempar cahaya. Kini waktunya ada yang menangkapnya dan membumikan cahaya itu ke dalam struktur negara. Agar Indonesia bukan hanya merdeka secara administratif, tapi juga merdeka dalam pikiran, sistem, dan masa depan.