beritax.id – Pemerintah mencatat penurunan tajam dalam penerimaan pajak hingga pertengahan tahun ini. Kementerian Keuangan mengungkapkan bahwa realisasi penerimaan pajak pada periode Januari hingga Mei 2025 hanya mencapai Rp683,3 triliun. Angka ini turun signifikan sebesar 10,14 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu, dalam konferensi pers “APBN Kita” pada Selasa (17/6/2025), menyebutkan bahwa salah satu penyebab utama penurunan tersebut adalah tingginya pengembalian pajak atau restitusi. “Memang di [penerimaan pajak] netonya ada negatif karena ada kewajiban restitusi yang jatuh tempo,” jelas Anggito.
Restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Tambang Disorot
Salah satu sektor yang menjadi sorotan adalah sektor pertambangan. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sebagaimana dirubah terakhir dengan UU Nomor 2 Tahun 2025, pemerintah menghapus daftar barang yang tidak dikenai PPN. Akibatnya, seluruh barang hasil pertambangan, termasuk batu bara, minyak, gas, dan logam, sekarang menjadi Barang Kena Pajak (BKP).
Namun, karena ketentuan ekspor tetap dikenai PPN 0% berdasarkan Pasal 7 ayat (2) huruf a UU PPN, para eksportir tambang tidak dikenakan PPN atas penjualannya ke luar negeri, tetapi tetap berhak mengajukan restitusi PPN masukan. Kondisi ini menimbulkan “subsidi fiskal terbalik” yang membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pasal 7 ayat (2) huruf a UU PPN:
“Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
a. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;”
IWPI: Negara Rugi, Oligarki Diuntungkan
Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) mencatat dari hasil pengolahan data berbagai sumber, bahwa sepanjang 2020 hingga 2023, pemerintah telah mengembalikan dana restitusi PPN sebesar Rp253 triliun hanya untuk enam jenis barang tambang, yaitu:
1. Batubara
2. Besi/Baja
3. Gas Alam
4. Minyak
5. Lignit
6. Minyak Mentah
Ketua Umum IWPI, Rinto Setiyawan, menilai kondisi ini sangat tidak adil bagi keuangan negara dan berpotensi memperlebar ketimpangan fiskal.
“Negara justru membayar kembali PPN yang tidak pernah dipungut, dan ini mayoritas dinikmati oleh konglomerasi tambang. Ini bentuk subsidi tersembunyi untuk para oligarki tambang,” kata Rinto dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi.
Usul IWPI: Tambang Ekspor Wajib Bayar PPN 5-10 Persen
IWPI mengusulkan agar Presiden Prabowo Subianto merevisi UU PPN, khususnya untuk pengecualian barang tambang dari tarif 0% PPN ekspor. IWPI menyarankan tarif PPN khusus ekspor tambang sebesar 5-10 persen, agar:
- Ada kontribusi riil dari sektor tambang ke APBN;
- Restitusi besar-besaran bisa dikendalikan;
- Tercipta keadilan fiskal dan konstitusional, sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945.
“Kalau negara tidak segera melakukan revisi, maka APBN kita akan terus terkuras. Ini bukan hanya masalah teknis fiskal, ini masalah moral konstitusi,” tegas Rinto.
Keadilan Fiskal: Di Mana Negara Berdiri?
Menurut IWPI, walaupun secara hukum perpajakan, ekspor berhak atas restitusi, namun dari sisi keadilan konstitusional dan ekonomi, negara berhak dan wajib mengatur mekanisme khusus untuk barang tambang, karena sifatnya yang strategis dan berasal dari kekayaan alam milik negara.
“Jangan sampai rakyat yang bayar PPN rokok dan sabun, tapi pengusaha tambang justru dikembalikan pajaknya triliunan rupiah,” sindir Rinto.
Penutup
IWPI mendesak pemerintah untuk tidak lagi bersikap pasif terhadap beban restitusi pajak dari sektor tambang. Dengan revisi UU PPN dan pemberlakuan tarif khusus untuk ekspor tambang, negara bisa memperbaiki ketimpangan fiskal dan memulihkan keadilan konstitusional dalam pengelolaan sumber daya alam.
“Negara tidak boleh rugi di tanah sendiri,” pungkas Ketua IWPI.