Oleh Rinto Setiyawan – Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Dalam diskursus kebangsaan kita, istilah “Empat Pilar Negara” sudah sering digaungkan, khususnya sejak era kepemimpinan Taufiq Kiemas di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI. Empat pilar yang dimaksud adalah Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Namun, semakin ke sini, saya melihat bahwa struktur pilar yang dibangun ini lebih bersifat normatif simbolik, tapi lemah secara logika struktural dan filosofis.
Bagaimana tidak? Di dalamnya disetarakan antara falsafah dasar (Pancasila), hukum dasar (UUD 1945), bentuk negara (NKRI), dan semboyan kultural (Bhinneka Tunggal Ika). Penyamaan level ini membingungkan secara konsep dan berpotensi membelokkan arah pemahaman rakyat terhadap struktur bernegara yang seharusnya hierarkis, sistemik, dan fungsional.
Berbeda halnya dengan apa yang secara kultural dan spiritual telah lama diajarkan oleh Cak Nun (Emha Ainun Nadjib), seorang budayawan dan penafsir ruh bangsa. Beliau menyuarakan bahwa negara ini sesungguhnya dibangun atas dasar keutuhan rakyat, dan rakyat itu sendiri dilindungi oleh empat elemen besar: intelektual, spiritual/agama, militer (TNI–Polri), dan budaya/adat. Inilah yang saya sebut sebagai “Empat Pilar Negara versi Cak Nun”.
Pilar Cak Nun: Organik, Fungsional, dan Relevan
Pilar-pilar negara menurut Cak Nun bersumber dari falsafah Jawa “sedulur papat limo pancer”. Di mana pancer adalah rakyat sebagai jiwa dan pusat dari segala urusan negara. Sementara empat sedulur lainnya adalah:
- Kaum Intelektual – Otak Negara
Pemberi arah, rasionalitas, dan strategi. - Kaum Agama dan Spiritualitas – Hati Negara
Penjaga moral, kejujuran, dan nilai luhur. - TNI dan Polri – Tulang Negara
Penyangga keutuhan dan keamanan. - Kaum Budaya dan Adat – Darah dan Daging Negara
Sumber identitas, keaslian, dan keberlanjutan nilai bangsa.
Model ini tidak hanya logis secara struktur, tapi juga hidup dalam realitas sosial dan spiritual rakyat Indonesia. Ia tidak menabrakkan simbol dengan sistem, atau menjadikan bentuk negara (seperti NKRI) seolah-olah memiliki bobot filosofis yang sama dengan Pancasila sebagai dasar negara.
Masalah Empat Pilar Versi MPR
Empat pilar versi MPR tampak manis di permukaan, tapi memuat problem hierarki konsep. Menyamakan Pancasila dengan NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, misalnya, adalah seperti menyamakan fondasi rumah dengan cat tembok dan alamat rumahnya. Tidak sejajar. Tidak setara. Apalagi jika pilar itu dijadikan komoditas pelatihan pendidikan politik yang dibungkus dengan pendekatan birokratis.
Rumah Besar Indonesia Perlu Denah yang Benar
Jika kita ingin membangun rumah besar bernama Indonesia, maka:
- Pancasila adalah pondasinya
- UUD 1945 adalah rangkanya
- Rakyat adalah tanah tempat rumah itu berdiri
- Empat kekuatan rakyat (intelektual, spiritual, militer, budaya) adalah tiangnya
Bhinneka Tunggal Ika bukan pilar—tapi nafas dan warna dari rumah itu sendiri.
Penutup
Kita harus mulai jujur dalam memikirkan ulang bangunan negara. Bukan hanya karena tuntutan zaman, tapi karena struktur yang keliru melahirkan arah yang salah. Seperti kata Cak Nun:
“Kalau rakyat ikut rusak, sebenarnya dia adalah pihak yang dirusak, bukan orang yang ingin merusak dirinya. Dia hanya korban dari kerusakan yang ditimpakan oleh sistem dan pemimpin-pemimpin yang tidak perduli kepada perusakan yang dilahirkannya.”
Dan sistem yang salah, tak akan bisa diperbaiki dengan simbol semata. Ia hanya bisa diselamatkan dengan struktur yang sehat, fungsional, dan berpihak kepada rakyat sebagai pusatnya.