beritax.id – Menteri Agama RI Nasaruddin Umar menyampaikan rencana kerja sama strategis Indonesia dan Malaysia dalam bidang kurikulum pendidikan keagamaan. Hal itu ia ungkapkan seusai pertemuan Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka dengan Wakil Perdana Menteri Malaysia, Dato’ Seri Ahmad Zahid Hamidi, di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Senin.
Menurut Nasaruddin, kerja sama ini didasari oleh kesamaan mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah dan dominasi paham Syafi’i di kedua negara. Ia menyebut persamaan tersebut sebagai fondasi yang kokoh untuk memperkuat kerja sama dalam pendidikan agama. Kerja sama ini dinilai berpotensi menyelesaikan berbagai tantangan sekaligus memperkuat karakter Islam moderat di kawasan Asia Tenggara.
Menag menegaskan pentingnya sistem pendidikan agama yang inklusif dan mencerahkan sebagai wujud nilai-nilai moderasi beragama. Moderasi yang dimaksud, menurutnya, adalah posisi tengah, bukan ekstrem kiri maupun kanan. Rencana penyusunan kurikulum bersama ini diharapkan mampu menjawab tantangan sosial keagamaan di kawasan.
Namun demikian, penyatuan kurikulum antarnegara tak lepas dari pertanyaan kritis: moderasi siapa yang diadopsi? Apakah kurikulum yang dihasilkan mampu memberi ruang pada keragaman, atau justru mempersempit tafsir ajaran? Inilah yang kemudian disorot oleh Partai X.
Partai X: Jangan Bungkam Tafsir Lokal
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X-Institute, Prayogi R Saputra, mengingatkan bahwa tugas pemerintah adalah melindungi, melayani, dan mengatur rakyat. Menurutnya, kerja sama kurikulum agama lintas negara bisa menjadi langkah maju bila disusun dengan prinsip keterbukaan.
Namun jika hanya menguntungkan elit institusi pendidikan dan menciptakan standarisasi tafsir tunggal, maka arah ini patut dipertanyakan. “Pendidikan agama jangan hanya dijadikan alat legitimasi pemerintah internasional. Kurikulum harus dibangun dari kebutuhan umat, bukan kepentingan elit,” tegas Prayogi.
Prayogi menekankan bahwa pendidikan agama seharusnya memperkuat keberagaman lokal dan kebebasan berpikir umat. Ia khawatir, semangat moderasi justru bisa berubah menjadi bungkamnya tafsir alternatif jika tidak dijaga prinsip keadilannya.
Partai X melalui platformnya menegaskan pentingnya partisipasi masyarakat sipil dalam perumusan kebijakan pendidikan agama. Kerja sama internasional bukanlah hal tabu, namun harus dijalankan secara transparan, inklusif, dan berbasis kebutuhan masyarakat bawah.
Pendidikan agama yang mencerahkan tidak bisa hadir dari ruang birokrasi tertutup. Ia lahir dari proses dialog, evaluasi, dan keberanian membuka perbedaan sebagai sumber kekayaan.
Partai X meminta pemerintah untuk menyusun kurikulum berbasis prinsip perlindungan rakyat, pelayanan yang adil, serta pengaturan yang demokratis, sebagaimana menjadi mandat konstitusional negara.