beritax.id – Pemerintah resmi menetapkan Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2025 tentang Tunjangan Kinerja bagi Pegawai di Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. Menteri PANRB Rini Widyantini menyebut kebijakan ini sebagai langkah strategis untuk mendorong profesionalisme ASN dan dosen.
Tunjangan diberikan berdasarkan evaluasi kelas jabatan dan ditujukan untuk mendorong reformasi birokrasi dan peningkatan kinerja. Rini menekankan bahwa tukin bukan hanya urusan nominal, tetapi juga komitmen pada kualitas kinerja dan pelayanan kepada masyarakat.
Pemerintah menyatakan harapan besar terhadap peran dosen dalam membentuk lulusan unggul. Menteri Dikti Saintek Brian Yuliarto menyebut tunjangan ini sebagai pendorong transformasi kampus yang lebih adaptif dan profesional.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan kampus-kampus negeri dan swasta masih menghadapi tekanan struktural. Mulai dari minimnya dana riset, beban administratif dosen, hingga ketimpangan akses teknologi.
Partai X: Naikkan Tunjangan Sah, Tapi Jangan Abaikan Problem Dasar
Menanggapi kebijakan ini, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menilai kebijakan kenaikan tunjangan harus disertai perombakan sistem manajemen pendidikan. “Peningkatan tunjangan sah-sah saja. Tapi tolong jawab juga: kinerja siapa yang ditingkatkan?” ujarnya.
Rinto mengingatkan, tugas negara itu tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Ia menilai kebijakan ini belum menjawab akar masalah yang membuat kampus masih ‘goyang’.
Partai X menyoroti masih tingginya beban administratif dosen, yang menjauhkan mereka dari riset dan pengabdian. “Kalau tukin ditambah tapi waktu habis di laporan kepegawaian, itu bukan reformasi. Itu jebakan sistem,” tegas Rinto.
Ia menyebut, sistem pendidikan tinggi terlalu fokus pada angka akreditasi dan publikasi tanpa memfasilitasi ekosistem pembelajaran yang kontekstual dan solutif.
Solusi Harus Menyentuh Akar, Bukan Sekadar Insentif Elitis
Prinsip Partai X menegaskan bahwa kebijakan pendidikan harus menyentuh kepentingan rakyat banyak, bukan elite birokrasi kampus.
“Jika tunjangan naik tapi akses pendidikan makin sulit, maka kita hanya membungkus krisis dengan amplop formalitas,” kata Rinto.
Ia meminta agar kenaikan tukin tidak sekadar jadi alat elit pencitraan, tetapi disertai perombakan sistem meritokrasi dan pembiayaan riset yang nyata dan adil.
Bagi Partai X, pendidikan bukan ruang eksklusif elite intelektual, tapi tanggung jawab publik yang harus dibangun berbasis kemanusiaan dan keadilan. Jika kampus masih jadi tempat elitisme struktural, maka peningkatan tunjangan hanya kosmetik belaka.
“Pertanyaan akhirnya sederhana: apakah ini benar-benar tentang kinerja, atau sekadar simbol penghargaan yang tak menyentuh inti persoalan?” pungkas Rinto.