beritax.id – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat outstanding pembiayaan Peer to Peer (P2P) Lending atau pinjaman online (pinjol) mencapai Rp78,50 triliun pada Januari 2025. Utang pinjol ini meningkat 29,94% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK, Agusman, mengungkapkan bahwa meskipun jumlah pinjaman terus meningkat, tingkat wanprestasi pinjaman (TWP90) atau kredit macet masih terjaga stabil di angka 2,52%.
“Pada industri fintech P2P Lending, outstanding pembiayaan di Januari 2025 tumbuh 29,94% year on year, di Desember 2024 tercatat 29,14% year on year dengan nominal sebesar Rp78,50 triliun,” ujar Agusman dalam konferensi pers virtual, Selasa (4/3).
Pinjol Kian Merajalela, Apakah Rakyat Makin Tercekik?
Lonjakan pinjaman online mengindikasikan semakin banyak masyarakat yang bergantung pada layanan pinjol, baik untuk keperluan konsumtif maupun produktif. Namun, hal ini juga memicu kekhawatiran akan jebakan utang yang sulit dihindari.
Banyak masyarakat menggunakan pinjol sebagai jalan pintas untuk menutupi kebutuhan harian, membayar utang lama, atau bahkan membiayai usaha kecil. Sayangnya, bunga tinggi dan biaya tambahan yang tidak transparan sering kali membuat peminjam kesulitan melunasi utangnya.
Jika tidak ada regulasi yang lebih ketat, dikhawatirkan angka kredit macet akan meningkat drastis dalam waktu dekat.
Partai X: Utang Pinjol Melonjak, Siapa yang Sebenarnya Diuntungkan?
Menanggapi lonjakan pinjaman online ini, Diana Isnaini, Anggota Majelis Tinggi Partai X, mempertanyakan siapa yang sebenarnya diuntungkan dari fenomena ini.
“Kami melihat pinjaman online semakin marak, tetapi di sisi lain rakyat semakin kesulitan untuk keluar dari jeratan utang. Apakah ini benar-benar solusi bagi masyarakat atau justru memperparah masalah ekonomi rakyat?” ujar Diana dalam keterangannya, Selasa (4/3/2025).
Menurut Prinsip Partai X, negara harus mengelola sistem keuangan secara efektif, efisien, dan transparan. Oleh karena itu, Partai X menuntut agar pemerintah dan OJK lebih ketat dalam mengawasi industri pinjol. Kemudian memastikan bahwa regulasi yang ada benar-benar melindungi masyarakat.
Diana juga menyoroti potensi eksploitasi oleh perusahaan fintech, sering kali memberikan pinjaman dengan bunga tinggi, denda keterlambatan besar, dan metode penagihan yang tidak manusiawi.
“Apakah pemerintah benar-benar memastikan bahwa pinjol ini tidak hanya menguntungkan segelintir pihak? Apakah ada kebijakan konkret untuk melindungi rakyat dari praktik yang merugikan?” tegasnya.
Kesimpulan
Lonjakan utang pinjol hingga Rp78,5 triliun bukan sekadar angka statistik, tetapi mencerminkan realitas ekonomi yang semakin sulit bagi masyarakat.
Partai X menekankan bahwa pemerintah harus mengambil langkah tegas dalam mengatur industri fintech, termasuk meninjau kembali suku bunga, biaya administrasi, serta mekanisme penagihan yang sering kali merugikan peminjam.”Kami akan terus mengawal kebijakan ini agar pinjol tidak menjadi alat eksploitasi bagi rakyat kecil. Jangan sampai ini menjadi jebakan yang hanya menguntungkan segelintir pihak, sementara rakyat terus terjerat utang!” pungkas Diana.