Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi mengumumkan lima tersangka dalam kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) yang merugikan negara hingga Rp11,7 triliun.
Kasus ini berfokus pada kredit bermasalah yang diberikan kepada PT Petro Energy (PT PE). Namun, KPK juga mengungkap bahwa 10 debitur lainnya masih dalam penyelidikan, dengan sektor usaha yang mencakup perkebunan, shipping, dan energi.
Poin-poin Utama Kasus LPEI
1. Modus Operandi: Kredit Bermasalah dan Benturan Kepentingan
Menurut Kasatgas Penyidikan KPK, Budi Sukmo Wibowo, kasus ini diawali dengan benturan kepentingan antara direksi LPEI dan PT Petro Energy. Mereka disebut telah melakukan kesepakatan awal untuk mempermudah pencairan kredit.
“Direktur LPEI memerintahkan bawahannya untuk tetap memberikan kredit walaupun tidak layak diberikan,” ujar Budi dalam konferensi pers, Senin (3/3).
Selain itu, PT PE diduga memalsukan dokumen purchase order dan invoice sebagai syarat pencairan fasilitas kredit. Perusahaan juga melakukan window dressing terhadap laporan keuangan, sehingga seolah-olah kondisi finansialnya lebih baik dari kenyataan.
2. Kerugian Negara Capai Rp11,7 Triliun
Hingga saat ini, kerugian negara akibat kredit bermasalah di LPEI telah mencapai Rp11,7 triliun, dengan Rp900 miliar berasal dari kredit kepada PT Petro Energy.
Budi menjelaskan bahwa angka ini masih bisa bertambah seiring dengan penyelidikan terhadap 10 debitur lainnya, yang diduga menerima kredit secara tidak layak.
3. ‘Uang Zakat’: Fee 2,5%-5% untuk Direksi Kasus LPEI
KPK juga mengungkap adanya kode “uang zakat”, yaitu sejumlah 2,5% hingga 5% dari kredit yang diberikan kepada debitur, yang harus dibayarkan kepada direksi LPEI.
“Dari keterangan saksi dan barang bukti elektronik yang disita, kami menemukan adanya istilah ‘uang zakat’ yang diberikan oleh para debitur kepada direksi sebagai syarat pencairan kredit,” ungkap Budi.
Kode ini mengindikasikan adanya praktek suap sistematis dalam pemberian kredit oleh LPEI, yang semakin memperburuk kerugian negara.
Partai X: Bongkar Kasus LPEI, Siapa yang Harus Bertanggung Jawab?
Menanggapi skandal ini, Prayogi R. Saputra, juru bicara Partai X, menegaskan bahwa kasus ini tidak boleh berhenti pada penetapan lima tersangka saja. Ia menuntut pengusutan hingga ke level tertinggi yang berwenang dalam proses pemberian kredit di LPEI.
“Kami mengapresiasi langkah KPK, tetapi pertanyaan besarnya: siapa dalang utama di balik skandal Rp11,7 triliun ini? Tidak mungkin hanya lima orang ini yang bertanggung jawab,” ujar Prayogi dalam keterangannya, Selasa (4/3).
Menurut prinsip Partai X, negara harus dikelola secara efektif, efisien, dan transparan, terutama dalam hal pengelolaan keuangan negara. Oleh karena itu, setiap skandal keuangan harus diusut hingga tuntas, tanpa tebang pilih.
“Apakah ada pejabat tinggi atau elite politik yang ikut bermain dalam kasus ini? Bagaimana sistem pengawasan internal di LPEI bisa seburuk ini? Jika tidak ada perbaikan struktural, kasus serupa bisa terjadi lagi di masa depan,” tegasnya.
Kesimpulan: Transparansi dan Reformasi LPEI Harus Segera Dilakukan
Kasus korupsi LPEI menjadi salah satu skandal keuangan terbesar dalam beberapa tahun terakhir, dengan total kerugian mencapai Rp11,7 triliun. Fakta bahwa 10 debitur lainnya masih dalam penyelidikan menunjukkan bahwa angka ini bisa bertambah.
Partai X menekankan bahwa kasus ini harus diusut hingga ke akar permasalahan. Jika hanya beberapa nama yang dikorbankan, tanpa membongkar jaringan yang lebih luas, maka kasus ini hanya akan menjadi ‘drama hukum’ tanpa efek jangka panjang.
“Kami akan terus mengawal kasus ini agar tidak ada pihak yang lolos dari tanggung jawab. Jangan sampai negara terus dirugikan oleh skandal seperti ini, sementara rakyat yang harus menanggung akibatnya!” pungkas Prayogi.