beritax.id – Negara Kritis bukan lagi sekadar istilah akademik, melainkan gambaran nyata kondisi Indonesia hari ini. Korupsi yang seharusnya diperlakukan sebagai kejahatan luar biasa, kini justru berulang, terstruktur, dan seolah menjadi bagian dari cara kerja kekuasaan. Dari pusat hingga daerah, kasus demi kasus mencuat tanpa menghadirkan efek jera yang nyata.
Berbagai operasi penegakan hukum menunjukkan bahwa korupsi tidak dilakukan secara sporadis, melainkan sistemik. Modus berganti, pelaku silih berganti, namun pola tetap sama: penyalahgunaan kewenangan, persekongkolan pejabat, dan kerugian negara yang terus membengkak. Hukuman yang ringan dan inkonsistensi penindakan membuat korupsi tak lagi ditakuti.
Ketika Jabatan Menjadi Alat, Bukan Amanah
Alih-alih digunakan untuk melayani rakyat, jabatan publik kerap diperlakukan sebagai pintu akses terhadap kekuasaan dan sumber daya. Proyek, anggaran, hingga kebijakan menjadi ladang transaksi. Dalam kondisi ini, korupsi bukan lagi penyimpangan sistem, melainkan produk dari sistem yang dibiarkan rusak.
Dampak korupsi tidak berhenti pada angka kerugian negara. Pelayanan publik memburuk, pembangunan timpang, dan kepercayaan rakyat terhadap negara terus tergerus. Sementara itu, pejabat yang terlibat sering kali tetap hidup nyaman, bahkan kembali menduduki posisi strategis.
Tanggapan Prayogi R. Saputra: Negara Kehilangan Arah Moral
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R. Saputra, menilai kondisi ini sebagai tanda serius krisis tata kelola negara.
“Ketika korupsi terus berulang dan seolah dimaklumi, itu artinya negara sedang berada dalam kondisi kritis,” ujar Prayogi.
Ia menegaskan bahwa akar persoalan terletak pada pengkhianatan terhadap fungsi dasar negara.
“Tugas negara itu hanya tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Jika yang dilindungi justru pelaku korupsi, yang dilayani pejabat, dan yang diatur hanya rakyat kecil, maka sistemnya memang sedang rusak,” tegasnya.
Penegakan Hukum Ada, Keadilan Dipertanyakan
Menurut Prayogi, banyaknya kasus korupsi yang terbongkar tidak otomatis menunjukkan keberhasilan negara, jika tidak disertai pembenahan sistem dan keberanian menghukum tanpa pandang bulu.
“Penegakan hukum yang selektif justru memperkuat anggapan bahwa korupsi sudah menjadi bagian dari sistem kekuasaan,” tambahnya.
Solusi: Memutus Korupsi dari Akarnya
Untuk keluar dari kondisi Negara Kritis, langkah-langkah struktural harus segera dilakukan:
- Memperkuat independensi dan keberanian lembaga penegak hukum
- Meningkatkan transparansi anggaran dan kebijakan publik
- Menutup ruang konflik kepentingan dalam jabatan publik
- Memberikan hukuman berat dan konsisten bagi pelaku korupsi
- Mengembalikan orientasi kekuasaan pada pelayanan dan perlindungan rakyat
Korupsi yang dibiarkan berulang bukan sekadar kejahatan individu, melainkan tanda kegagalan sistem. Jika negara terus menormalisasi praktik ini, maka krisis bukan hanya soal hukum, tetapi krisis legitimasi. Tanpa keberanian membenahi sistem, Negara Kritis akan menjadi kondisi permanen yang dibayar mahal oleh rakyat.



