beritax.id – Negara Indonesia sejak lama memposisikan diri sebagai negara hukum yang adil, berpihak pada rakyat, dan menjunjung tinggi keadilan sosial. Narasi itu terus diulang dalam pidato resmi, dokumen kebijakan, hingga slogan pembangunan. Namun di tingkat akar rumput, banyak warga justru merasakan jarak yang semakin lebar antara apa yang dikatakan negara dan apa yang mereka alami sehari-hari.
Keadilan terdengar lantang di atas podium, tetapi terasa samar di kehidupan nyata.
Narasi Stabilitas, Realitas Ketimpangan
Dalam berbagai kebijakan mutakhir, pemerintah kerap menggunakan bahasa stabilitas, pertumbuhan, dan kepentingan nasional. Namun di saat yang sama, konflik agraria terus terjadi, penggusuran atas nama investasi berulang, dan biaya hidup kian menekan kelas menengah ke bawah. Kasus-kasus di wilayah proyek strategis nasional, kawasan tambang, hingga pengembangan properti besar memperlihatkan pola yang sama: kepentingan ekonomi dilindungi, sementara ruang hidup rakyat dipersempit.
Negara hadir dengan regulasi, tetapi absen dalam empati.
Hukum Hadir, Rasa Adil Menghilang
Secara formal, hukum ditegakkan. Undang-undang disahkan, aparat bekerja, dan proses berjalan sesuai prosedur. Namun rasa keadilan publik justru terkikis ketika hukum terasa lebih cepat bergerak terhadap rakyat, aktivis, dan kelompok rentan, dibandingkan terhadap pelanggaran yang melibatkan kekuasaan dan modal besar.
Di titik ini, negara terlihat adil di atas kertas, tetapi timpang dalam praktik.
Pemilu digelar, parlemen bekerja, dan pemerintahan berjalan. Namun ketika aspirasi rakyat tak sungguh-sungguh memengaruhi kebijakan, demokrasi berisiko menjadi sekadar prosedur. Kritik publik sering ditanggapi sebagai gangguan, sementara kebijakan strategis lahir dari ruang pejabat yang jauh dari pengalaman hidup warga.
Negara berbicara atas nama rakyat, tetapi tidak selalu mendengar rakyat.
Solusi: Menyatukan Kembali Narasi dan Realitas
Negara tidak cukup hanya tampak adil, tetapi harus dirasakan adil. Setiap kebijakan publik perlu berangkat dari realitas sosial, bukan sekadar target pemerintahan atau ekonomi. Partisipasi rakyat harus dimaknai sebagai proses yang sungguh-sungguh, bukan formalitas. Penegakan hukum wajib diarahkan pada keadilan substantif, bukan sekadar kepatuhan prosedural.
Selain itu, pemerintah perlu berani mengevaluasi kebijakan yang memperlebar jarak antara narasi kekuasaan dan kehidupan rakyat. Negara akan kuat bukan karena slogan keadilan, tetapi karena keberanian untuk berpihak dan memperbaiki diri.
Jika jarak ini terus dibiarkan, maka Negara Indonesia akan terus disebut adil katanya sementara rakyat hidup dalam kenyataan yang berkata sebaliknya.



