beritax.id – Dalam beberapa bulan terakhir, rangkaian bencana alam kembali menghantam berbagai wilayah Indonesia. Banjir bandang, longsor, dan cuaca ekstrem menelan korban jiwa, memutus akses desa, serta memaksa ribuan warga mengungsi. Di tengah situasi darurat, publik berharap negara hadir cepat dan fokus pada penyelamatan serta pemulihan. Namun yang sering terlihat justru sebaliknya: penanganan lambat, koordinasi tersendat, dan perhatian pejabat terpecah pada agenda kekuasaan. Bencana seolah menjadi latar belakang, bukan pusat perhatian.
Kunjungan Simbolik dan Narasi Kekuasaan
Respons terhadap bencana kerap dibingkai dalam kunjungan simbolik dan pernyataan normatif. Kamera hadir, janji disampaikan, tetapi pemulihan berjalan tertatih. Pada saat yang sama, agenda kekuasaan mulai dari konsolidasi, pembahasan kebijakan strategis, hingga tarik-menarik kepentingan tetap berjalan tanpa jeda.
Di mata warga terdampak, negara tampak sibuk mengelola citra, bukan mengelola krisis.
Akar Masalah yang Diabaikan
Bencana tidak datang tiba-tiba. Kerusakan lingkungan, pembalakan hutan, alih fungsi lahan, dan proyek yang mengabaikan daya dukung alam berkontribusi besar. Namun evaluasi kebijakan sering berhenti pada faktor cuaca. Ketika akar masalah dihindari, bencana berikutnya hanya tinggal menunggu waktu.
Rakyat menjadi korban berulang, sementara kebijakan yang memicu kerentanan tetap dipertahankan.
Kontras terasa ketika agenda kekuasaan dapat diputuskan cepat, sementara bantuan darurat tersendat oleh prosedur. Anggaran bisa bergerak lincah untuk kepentingan, tetapi tersendat untuk penyelamatan dan pemulihan warga. Ketimpangan prioritas ini menimbulkan pertanyaan serius tentang orientasi negara: siapa yang sebenarnya dilayani?
Solusi: Menempatkan Keselamatan Rakyat sebagai Prioritas Utama
Untuk menghentikan pola ini, negara harus menegaskan bahwa keselamatan rakyat adalah agenda tertinggi, bukan latar belakang bagi agenda kekuasaan. Penanganan bencana perlu dipercepat dengan komando tunggal yang jelas, anggaran darurat yang fleksibel, dan koordinasi lintas lembaga yang efektif. Evaluasi kebijakan lingkungan dan tata ruang harus dilakukan secara serius agar pencegahan menjadi fokus, bukan sekadar respons. Transparansi penyaluran bantuan wajib dijamin agar tepat sasaran dan bebas dari kepentingan. Yang tak kalah penting, suara warga terdampak harus dilibatkan dalam perencanaan pemulihan agar kebijakan tidak kembali mengulangi kesalahan yang sama.
Bencana seharusnya menyatukan negara pada misi kemanusiaan. Jika ia justru dijadikan latar sementara kekuasaan menjadi agenda utama, maka yang dipertaruhkan bukan hanya nyawa hari ini, tetapi masa depan bangsa.



