beritax.id – Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) terus dikampanyekan sebagai simbol persatuan dan masa depan Indonesia. Istilah Nusantara digaungkan untuk menegaskan keberagaman dan keadilan wilayah. Namun di lapangan, semangat itu kerap berbanding terbalik dengan realitas yang dialami masyarakat lokal dan adat di sekitar kawasan proyek.
Dalam beberapa bulan terakhir, berbagai laporan masyarakat sipil menyoroti kegelisahan warga yang lahannya masuk area pengembangan, sementara kepastian hak dan perlindungan belum sepenuhnya mereka terima.
Kasus di Lapangan: Tanah Ada, Pengakuan Tertinggal
Sejumlah komunitas adat di sekitar kawasan IKN mengaku menghadapi proses penetapan wilayah yang tidak sepenuhnya partisipatif. Sosialisasi dilakukan setelah keputusan besar diambil, sementara pengakuan wilayah adat dan mekanisme persetujuan masih berjalan lambat. Situasi ini mencerminkan pola lama pembangunan: proyek dipercepat, pengakuan hak menyusul atau bahkan tertinggal.
IKN diproyeksikan menarik investasi besar dan menciptakan pusat pertumbuhan baru. Namun pertumbuhan tersebut membawa konsekuensi sosial: perubahan akses terhadap hutan, sumber air, dan ruang hidup yang selama ini menopang kehidupan masyarakat adat.
Ketika tanah dipandang semata sebagai aset pembangunan, dimensi sosial-budaya berisiko dihapus dari perhitungan kebijakan.
Pemindahan, perubahan fungsi lahan, dan ketidakjelasan kompensasi berpotensi memicu konflik sosial berkepanjangan. Pengalaman proyek-proyek strategis sebelumnya menunjukkan bahwa pembangunan tanpa legitimasi sosial justru memperlambat tujuan jangka panjang negara dan menggerus kepercayaan publik.
Tanggapan Prayogi R. Saputra
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R. Saputra, menegaskan bahwa pembangunan tidak boleh memisahkan negara dari rakyatnya sendiri.
“IKN mengusung nama Nusantara, tetapi jangan sampai masyarakat Nusantaranya justru dipinggirkan. Tugas negara itu tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Jika hak masyarakat adat terabaikan, maka negara gagal menjalankan mandat dasarnya,” ujar Prayogi.
Ia menekankan bahwa masyarakat lokal harus menjadi bagian inti dari desain pembangunan, bukan sekadar objek relokasi.
Solusi: Mengembalikan Nusantara kepada Manusianya
Agar pembangunan IKN sejalan dengan keadilan sosial, sejumlah langkah perlu segera dilakukan:
- Pengakuan dan perlindungan wilayah adat. Percepat penetapan hukum tanah adat sebelum ekspansi proyek lanjutan.
- Partisipasi bermakna sejak awal. Libatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan, bukan hanya dalam tahap sosialisasi.
- Skema kompensasi berbasis keberlanjutan. Pastikan ganti rugi tidak hanya bersifat material, tetapi menjamin keberlanjutan hidup dan budaya.
- Transparansi proyek dan dampak sosial. Buka data rencana pembangunan dan potensi dampaknya kepada publik.
- Pengawasan independen. Libatkan akademisi dan masyarakat sipil untuk memantau pelaksanaan di lapangan.
IKN tidak boleh sekadar menjadi monumen beton bernama Nusantara. Tanpa keadilan bagi masyarakat adat dan lokal, pembangunan kehilangan ruhnya. Negara harus memastikan bahwa semangat Nusantara tidak berhenti pada slogan, tetapi hadir nyata dalam perlindungan dan penghormatan terhadap rakyatnya sendiri.



