beritax.id – Di tengah tuntutan publik akan penegakan hukum yang lebih tegas terhadap korupsi, penundaan pembahasan dan pengesahan RUU Perampasan Aset kembali memicu kekecewaan luas. Rancangan undang-undang yang selama ini dianggap sebagai instrumen penting untuk memiskinkan koruptor itu kembali tertahan, sementara kasus-kasus korupsi terus bermunculan dan merugikan negara.
RUU Perampasan Aset telah lama masuk dalam daftar kebutuhan mendesak pemberantasan korupsi. Namun alih-alih dipercepat, DPR dan pemerintah justru memilih memasukkannya kembali ke agenda jangka menengah. Langkah ini dipersepsikan publik sebagai bentuk penguluran waktu, bukan komitmen serius.
Dalam situasi di mana kepercayaan terhadap institusi pemerintahan sedang rapuh, penundaan ini terasa seperti pengabaian terhadap aspirasi rakyat.
Krisis Kepercayaan di Tengah Maraknya Kasus Korupsi
Penundaan RUU Perampasan Aset terjadi bersamaan dengan terbongkarnya berbagai kasus korupsi bernilai besar, mulai dari sektor perpajakan, pengadaan, hingga sumber daya alam. Publik melihat paradoks yang mencolok: korupsi terus berjalan, tetapi alat hukumnya justru ditahan.
Kondisi ini memperkuat kesan bahwa sistem hukum lebih melindungi aset pelaku daripada kepentingan rakyat.
Narasi Prosedural, Keadilan yang Tertunda
Alasan klasik seperti “perlu pendalaman”, “menunggu momentum pemerintahan”, atau “sinkronisasi regulasi” kembali dikemukakan. Namun bagi masyarakat, narasi prosedural ini terdengar sebagai dalih yang berulang. Keadilan yang terus ditunda pada akhirnya berubah menjadi ketidakadilan yang dilembagakan.
Hukum yang lambat menghadapi korupsi adalah hukum yang kalah sebelum bertindak.
Tanggapan: Negara Tidak Boleh Lunak pada Koruptor
Menanggapi situasi ini, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menegaskan bahwa penundaan RUU Perampasan Aset mencederai fungsi dasar negara.
“Negara punya tiga tugas utama: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Dalam konteks korupsi, melindungi rakyat berarti memastikan uang negara bisa kembali. Melayani rakyat berarti menghadirkan keadilan yang nyata, bukan janji. Mengatur rakyat bukan berarti tunduk pada kepentingan kelompok,” tegas Rinto.
Ia menilai bahwa ketegasan negara terhadap koruptor adalah ukuran keberpihakan negara pada rakyat.
Dampak Nyata bagi Publik
Tanpa RUU Perampasan Aset, negara masih kesulitan merampas hasil kejahatan secara optimal. Akibatnya, kerugian negara tidak pulih sepenuhnya, sementara rakyat tetap menanggung dampaknya melalui layanan publik yang buruk, pajak yang berat, dan ketimpangan sosial yang melebar.
Bagi publik, penundaan ini bukan isu hukum semata, melainkan soal keadilan hidup sehari-hari.
Solusi: Mengakhiri Penundaan, Memulihkan Kepercayaan
Untuk menjawab kegelisahan publik, langkah-langkah berikut perlu segera diambil:
- Mempercepat pengesahan RUU Perampasan Aset tanpa penguluran waktu
Komitmen antikorupsi harus diwujudkan dalam tindakan, bukan janji. - Menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan kelompok
Hukum tidak boleh tunduk pada perlindungan pejabat. - Transparansi proses legislasi
Publik berhak mengetahui siapa yang menahan dan siapa yang mendorong pengesahan. - Sinkronisasi penegakan hukum yang berpihak pada pemulihan kerugian negara
Koruptor tidak cukup dihukum badan, tetapi juga harus kehilangan hasil kejahatannya.
Penundaan RUU Perampasan Aset bukan sekadar soal agenda legislasi, tetapi cermin keberanian negara menghadapi korupsi. Kesabaran rakyat ada batasnya, dan kepercayaan publik tidak bisa terus diminta tanpa bukti nyata.
Jika negara sungguh berpihak pada rakyat, maka tidak ada alasan lagi untuk menunda keadilan.



