beritax.id – Di berbagai wilayah dengan situasi konflik dan operasi keamanan, laporan mengenai dugaan pelanggaran hak asasi manusia terus bermunculan. Namun bersamaan dengan itu, akses publik terhadap informasi justru semakin terbatas. Jurnalis dibatasi ruang geraknya, warga takut berbicara, dan data resmi kerap disajikan secara sepihak. Akibatnya, kebenaran di lapangan sulit diverifikasi, sementara korban kehilangan ruang untuk bersuara.
Dalam situasi keamanan yang tegang, warga sipil sering berada di posisi paling lemah. Dugaan kekerasan, intimidasi, hingga pembatasan aktivitas sehari-hari kerap terjadi, tetapi tidak selalu tercatat secara terbuka. Tanpa mekanisme pelaporan yang aman dan transparan, banyak kasus berakhir tanpa kejelasan.
Kondisi ini membuat korban tidak hanya kehilangan rasa aman, tetapi juga kehilangan keadilan.
Akses Informasi yang Terhambat
Minimnya akses informasi memperburuk situasi. Pembatasan peliputan, lambannya rilis data resmi, dan absennya penjelasan menyeluruh dari otoritas menciptakan ruang gelap yang rawan disalahgunakan. Ketika informasi dikendalikan, publik tidak memiliki dasar yang cukup untuk menilai apakah negara telah bertindak sesuai hukum dan prinsip hak asasi manusia.
Transparansi yang lemah pada akhirnya merusak kepercayaan publik.
Sering kali, narasi resmi yang disampaikan tidak sejalan dengan pengalaman warga di lapangan. Perbedaan ini menimbulkan kebingungan dan memperdalam kecurigaan. Tanpa ruang dialog dan keterbukaan informasi, negara berisiko terjebak dalam pembelaan sepihak yang justru memperbesar jarak dengan rakyat.
Negara yang kuat seharusnya berani membuka diri terhadap pengawasan publik.
Tanggapan Rinto Setiyawan: Negara Tidak Boleh Menutup Mata
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menegaskan bahwa keterbatasan akses informasi dalam konteks dugaan pelanggaran HAM adalah masalah serius.
“Tugas negara itu tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Jika terjadi dugaan pelanggaran di lapangan dan negara tidak membuka akses informasi, berarti perlindungan gagal. Jika korban kesulitan melapor dan mendapatkan keadilan, berarti pelayanan tidak berjalan. Dan jika informasi dikendalikan tanpa akuntabilitas, berarti negara keliru dalam mengatur,” tegas Rinto.
Ia menekankan bahwa transparansi adalah bagian tak terpisahkan dari perlindungan hak asasi.
Ketertutupan informasi tidak hanya merugikan korban, tetapi juga berbahaya bagi negara sendiri. Tanpa evaluasi terbuka, pelanggaran berpotensi berulang, luka sosial membesar, dan ketidakpercayaan publik mengakar. Dalam jangka panjang, stabilitas yang dibangun di atas ketertutupan akan rapuh. Keadilan tidak bisa tumbuh di ruang yang gelap.
Solusi: Membuka Akses, Memulihkan Kepercayaan
Untuk memastikan perlindungan HAM dan transparansi berjalan beriringan, langkah-langkah berikut perlu ditempuh:
- Menjamin akses informasi publik di wilayah rawan konflik
Keterbukaan adalah kunci akuntabilitas. - Melindungi saksi, korban, dan pelapor pelanggaran
Agar warga berani bersuara tanpa rasa takut. - Memperkuat mekanisme pengawasan independen
Supaya dugaan pelanggaran ditangani secara objektif. - Membuka ruang bagi jurnalisme dan pemantauan sipil
Informasi yang berimbang melindungi kepentingan publik. - Menegaskan kembali peran negara sebagai pelindung HAM
Bukan sekadar pengendali narasi.
Pelanggaran hak asasi dan minimnya akses informasi adalah dua sisi dari masalah yang sama. Selama negara belum sepenuhnya terbuka, keadilan akan sulit dicapai dan luka sosial akan terus membekas.
Melindungi rakyat berarti melindungi hak mereka untuk tahu, bersuara, dan mendapatkan keadilan. Tanpa itu, negara kehilangan legitimasi moralnya.



