Oleh: Rinto Setiyawan , A.Md., S.H., CTP
Ketua Umum IWPI, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Bencana besar yang berulang di Sumatera banjir, longsor, gempa, hingga kabut asap kembali menunjukkan pola yang sama: masyarakat menjadi korban pertama dan pemerintah terlambat merespons. Situasi ini menimbulkan pertanyaan lebih mendasar mengenai kelemahan tata negara dalam menangani keadaan darurat yang berdampak luas pada keselamatan warga.
Dalam setiap kejadian, angka korban dan tanggal peristiwa mungkin berbeda, tetapi keluhan yang muncul tetap serupa. Pemerintah daerah kerap menyatakan kewalahan, sementara pemerintah pusat lambat menentukan sikap, khususnya terkait penetapan status bencana nasional. Perdebatan prosedural dan pemerintahan kerap mendahului tindakan penyelamatan di lapangan.
Ketiadaan Kompas Negara dalam Penanganan Bencana
Berbagai bencana di Sumatera memperlihatkan lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Garis kewenangan sering kabur ketika skala bencana meluas antarwilayah. Proses penetapan status bencana nasional juga tidak berjalan berdasarkan parameter objektif seperti luas dampak, jumlah korban, atau kapasitas daerah, tetapi kerap dibayangi perhitungan mengenai konsekuensi yang akan ditanggung pemerintah pusat.
Penetapan status yang terlambat menimbulkan dampak lanjutan: keterlambatan mobilisasi sumber daya, lambatnya distribusi bantuan, hingga minimnya kepastian bagi warga terdampak. Negara terlihat ragu untuk mengakui kegagalan kebijakan tata ruang maupun pengawasan yang berkontribusi pada terjadinya bencana.
Sengkarut Kewenangan dan Minimnya Representasi Rakyat
Kendala penanganan bencana tidak hanya berkaitan dengan kapasitas teknis, tetapi juga arsitektur kekuasaan. Proses pengambilan keputusan strategis di tingkat nasional banyak dipengaruhi aktor kepartaian dan kepentingan ekonomi. Masyarakat yang terdampak langsung memiliki ruang partisipasi yang terbatas dalam menentukan arah kebijakan terkait mitigasi, tata ruang, dan pengelolaan lingkungan.
Fragmentasi lembaga pemerintah juga memperburuk situasi. Urusan kebencanaan yang melibatkan berbagai sektor berjalan tanpa koordinasi terpadu. Ketika bencana terjadi, perbedaan tafsir kewenangan antara kementerian dan pemerintah daerah justru memperlambat pergerakan negara dalam memberikan perlindungan.
Kebutuhan Mendesak Amandemen Kelima UUD 1945
Kelemahan-kelemahan tersebut menunjukkan perlunya perubahan mendasar di tingkat konstitusi. Amandemen Kelima UUD 1945 dinilai penting untuk memperjelas komando negara dalam keadaan darurat bencana dan memastikan bahwa hak masyarakat atas perlindungan, informasi, serta pemulihan dijamin dalam kerangka hukum tertinggi.
Beberapa aspek krusial yang perlu diatur dalam amandemen meliputi:
- Penguatan makna kedaulatan rakyat
Masyarakat terdampak bencana harus memiliki mekanisme representasi yang memungkinkan mereka mempengaruhi keputusan strategis negara, terutama terkait tata ruang dan pengelolaan lingkungan. - Penataan ulang lembaga negara dalam keadaan darurat
Konstitusi perlu menetapkan mekanisme otomatis yang mengharuskan negara mengumumkan status tertentu ketika indikator kebencanaan terpenuhi. Dengan demikian, penetapan status tidak lagi menjadi pilihan politis, tetapi kewajiban berdasarkan parameter yang jelas. - Penjaminan hak atas kebenaran dan pemulihan
Warga berhak memperoleh informasi mengenai penyebab bencana, audit kebijakan, dan pertanggungjawaban pejabat atau korporasi yang terlibat dalam keputusan yang berisiko. - Desain baru darurat
Keadaan darurat bencana harus menjadi ruang yang diawasi publik. Pemangkasan prosedur bagi pemerintah harus dibarengi kewajiban membuka data dan laporan secara transparan untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan.
Penutup
Bencana di Sumatera merupakan pengingat bahwa persoalan penanganan bencana bukan semata urusan teknis, tetapi merupakan refleksi dari kelemahan struktur konstitusional. Tanpa perubahan mendasar di tingkat UUD 1945, pola kegagapan negara akan terus berulang dan masyarakat tetap menjadi pihak yang paling dirugikan.
Amandemen Kelima UUD 1945 bukan lagi wacana teoretis, melainkan kebutuhan mendesak untuk memastikan negara mampu menjalankan tugas paling dasar: melindungi rakyat ketika mereka berada di titik paling rentan.



