beritax.id – Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) resmi mengajukan Permohonan Judicial Review (Hak Uji Materiil) terhadap Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024, sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK Nomor 54 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas PMK 81/2024 mengenai Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP/Coretax) terhadap Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Permohonan tersebut telah diterima dan diregister oleh Mahkamah Agung dengan Nomor Permohonan APP-2025-000045 pada tanggal 26 November 2025.
Permohonan ini diajukan oleh tiga orang Pemohon yang semuanya merupakan pengurus dan anggota IWPI, yaitu: Rinto Setiyawan, A.Md.T., S.H. (Pemohon I) selaku Ketua Umum IWPI, Fungsiawan, S.E., M.Ak., BKP (Pemohon II) selaku Penasihat IWPI, dan Yustinus Wibowo Saputra (Pemohon III) selaku anggota IWPI. Ketiganya bertindak baik sebagai Wajib Pajak secara pribadi maupun sebagai representasi organisasi yang menaungi kepentingan Wajib Pajak di seluruh Indonesia.
IWPI menilai bahwa PMK 81/2024 jo. PMK 54/2025 yang mewajibkan seluruh Wajib Pajak menggunakan aplikasi SIAP/Coretax dalam pemenuhan kewajiban perpajakan tidak memiliki dasar hukum yang jelas dalam UU KUP. Dalam permohonan, IWPI menegaskan bahwa istilah “Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP)” sama sekali tidak ditemukan dalam norma UU KUP. Sehingga kewajiban yang dibebankan melalui PMK tersebut dipandang sebagai perluasan kewenangan yang melampaui Undang-Undang (ultra vires) dan bertentangan dengan asas lex superior derogat legi inferiori.
Selain persoalan dasar hukum, IWPI juga menyoroti pemaksaan penggunaan SIAP/Coretax ketika sistem tersebut belum berjalan optimal. Berbagai gangguan teknis seperti gagal akses (login error), keterlambatan input data, error sistem. Sehingga terhambatnya pelaporan SPT Masa dan SPT Tahunan dianggap telah menghambat Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan dan berpotensi menimbulkan denda serta sanksi administratif yang tidak adil.
Dalam permohonan yang diajukan, IWPI menilai ketentuan a quo bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), khususnya:
- Asas kepastian hukum, karena kewajiban penggunaan SIAP/Coretax tidak memiliki pijakan eksplisit dalam UU KUP;
- Asas keadilan dan proporsionalitas, karena Wajib Pajak dipaksa menggunakan sistem yang belum siap dan justru menambah beban administratif;
- Asas efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, karena malfungsi sistem menghambat proses administrasi perpajakan yang seharusnya mudah, cepat, dan transparan.
IWPI juga merinci lima jenis kerugian yang dialami Para Pemohon dan para anggota IWPI sebagai akibat dari penerapan SIAP/Coretax, yaitu:
- Kerugian administratif akibat keterlambatan pemenuhan kewajiban perpajakan yang dipicu oleh gangguan sistem;
- Kerugian finansial karena Wajib Pajak harus mengeluarkan biaya tambahan untuk konsultan pajak, tenaga teknis, dan penanganan gangguan sistem;
- Kerugian hukum berupa potensi sanksi administratif meskipun hambatan berasal dari sistem yang diwajibkan pemerintah;
- Kerugian waktu dan produktivitas, karena Wajib Pajak harus berulang kali mencoba akses, memperbaiki error, dan berkoordinasi dengan KPP;
- Kerugian kolektif anggota IWPI, mengingat banyaknya aduan yang masuk dan kebutuhan pendampingan serta advokasi tambahan dari IWPI.
Berdasarkan uraian kerugian tersebut, IWPI menegaskan bahwa legal standing Para Pemohon terpenuhi: mereka adalah Wajib Pajak yang terdampak langsung dan sekaligus pengurus organisasi yang menaungi kepentingan ribuan Wajib Pajak di Indonesia, sehingga memiliki kepentingan hukum yang nyata, aktual, dan berkelanjutan untuk mengajukan uji materiil terhadap PMK dimaksud.
Dalam petitum-nya, IWPI dan Para Pemohon memohon kepada Mahkamah Agung untuk antara lain:
- Menerima dan mengabulkan permohonan Judicial Review untuk seluruhnya;
- Menyatakan PMK 81/2024 jo. PMK 54/2025 bertentangan dengan UU KUP dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang mengatur kewajiban penggunaan SIAP/Coretax;
- Membatalkan kewajiban penggunaan SIAP/Coretax dalam administrasi perpajakan;
- Memerintahkan Menteri Keuangan untuk mencabut ketentuan yang mewajibkan penggunaan SIAP/Coretax;
- Memerintahkan agar putusan dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagai pemberitahuan resmi kepada publik.
IWPI menegaskan bahwa langkah Judicial Review ini bukan penolakan terhadap modernisasi sistem administrasi perpajakan, melainkan kritik terhadap pelaksanaan kebijakan yang dinilai tergesa-gesa, tidak berbasis mandat Undang-Undang, dan membebani Wajib Pajak. IWPI berharap Mahkamah Agung memberikan putusan yang mengembalikan kepastian hukum, menjamin keadilan bagi Wajib Pajak, dan mendorong pemerintah untuk merancang sistem digital perpajakan yang benar-benar siap, sah secara hukum, dan berpihak pada kepentingan rakyat sebagai pembayar pajak.



