Oleh: Rinto Setiyawan, A.Md., S.H., CTP
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia,
Anggota Majelis Tinggi Partai X,
Wakil Direktur Sekolah Negarawan
beritax.id – Sulit menyangkal bahwa banyak advokat di Indonesia hari ini berjuang di medan peradilan yang makin hari terasa makin buntu. Di peradilan umum, tata usaha negara, agama, militer semuanya berujung di Mahkamah Agung. Di rumpun pajak, Pengadilan Pajak masih dalam proses menuju “satu atap” di bawah Mahkamah Agung paling lambat 31 Desember 2026. Sesuai Putusan MK No. 26/PUU-XXI/2023. Kemudian di atas kertas, semua lembaga itu adalah benteng keadilan; di lapangan. Terlalu sering advokat pulang dengan perasaan bahwa hukum sekadar dibacakan, bukan ditegakkan.
Skandal Zarof Ricar menjadi simbol telanjang dari kerusakan itu. Mantan pejabat Mahkamah Agung ini divonis belasan tahun penjara atas perkara korupsi, dengan uang sekitar Rp 915 miliar dan 51 kilogram emas yang dirampas untuk negara karena dinilai terkait pengurusan perkara. Sulit berharap kepercayaan publik utuh ketika di jantung lembaga tertinggi peradilan justru terbukti ada “makelar perkara” skala raksasa. Di saat yang sama, berbagai sistem teknologi informasi di MA—e-court, e-litigation, dan sejenisnya. Sering hanya terasa sebagai topeng digital: tampilan modern yang menutupi kultur lama. Di mana banyak hakim masih bersikap sebagai corong undang-undang, bukan penegak hukum dan keadilan.
Dari pengalaman sehari-hari itulah banyak advokat mulai melihat pola yang berulang:
putusan yang formulaik, alasan yang berhenti di bunyi pasal, dan keberanian penafsiran yang makin menipis. Ketika ruang keadilan di peradilan biasa tertutup oleh cara pandang “pokoknya undang-undang berbunyi begini”. Mereka pun mencari pintu lain: Mahkamah Konstitusi.
Dari Jalan Buntu di Peradilan Biasa ke Ruang Uji Materi di MK
Mahkamah Konstitusi menawarkan medan yang berbeda. Di sana, advokat tidak lagi sekadar berdebat soal siapa yang benar dalam sengketa A melawan B. Tetapi menggugat makna norma: frasa, pasal, atau ayat yang menjadi sumber lahirnya ketidakadilan di pengadilan-pengadilan biasa.
Lewat mekanisme uji materiil undang-undang terhadap UUD 1945, banyak advokat dan pemohon berhasil mendorong perubahan. Ada norma yang dibatalkan, ada yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat, ada pula yang ditafsirkan ulang agar lebih selaras dengan konstitusi. Putusan-putusan itu mengubah lanskap hukum: dari hukum pidana, administrasi negara, sampai pajak.
Namun di titik inilah muncul masalah baru yang tak kalah serius:
sebagian advokat mulai menganggap putusan MK sebagai “miliknya”.
Di ruang-ruang diskusi maupun pemberitaan, kita mendengar klaim semacam:
“Ini putusan saya.”
“Ini hasil perjuangan saya, jangan dipakai seenaknya oleh orang lain.”
Seolah-olah putusan Mahkamah Konstitusi adalah barang privat yang bisa “dimiliki” oleh pemohon dan tim hukumnya, bukan norma baru yang berlaku untuk seluruh rakyat.
Padahal, secara hakikat dan hukum, putusan uji materi undang-undang di MK bersifat erga omnes: mengikat semua orang, semua pengadilan, semua pejabat. Ia mengubah cara membaca undang-undang untuk seluruh sistem hukum, bukan hanya untuk satu pemohon yang datang terlebih dahulu.
Membela Klien vs Membela Konstitusi: Dua Peran yang Berbeda
Kesesatan logika ini lahir karena banyak advokat gagal membedakan dua panggung:
- Panggung peradilan biasa
Di Pengadilan Negeri, PTUN, Pengadilan Agama, Militer, maupun Pengadilan Pajak, struktur sengketanya sangat jelas: ada penggugat–tergugat, terdakwa–penuntut, pemohon–termohon. Putusan ditujukan pada para pihak itu. Di sini wajar jika advokat berkata, “Saya memenangkan perkara untuk klien saya.”
Orientasinya privat. - Panggung Mahkamah Konstitusi (uji materi UU)
Di MK, uji materi terhadap undang-undang bukan hanya soal satu orang melawan institusi. Ketika sebuah norma dinyatakan bertentangan dengan UUD atau dimaknai ulang, perubahan itu berlaku untuk semua orang yang berada di bawah jangkauan norma tersebut. Bahkan mereka yang tidak pernah bertemu sang advokat. Tidak pernah membayar jasanya, dan mungkin tidak tahu nama pemohon sama sekali.
Di sini, advokat seharusnya sadar bahwa ia sedang melampaui peran “pembela klien”. Ia sudah masuk ke wilayah aktor konstitusional: menata ulang hubungan negara–warga melalui tafsir konstitusi. Hasil perjuangannya tidak mungkin—dan tidak boleh—dipagari sebagai “hak milik pribadi”.
Jika ingin kemenangan yang hasilnya hanya dinikmati klien, jalannya memang peradilan biasa. Tetapi begitu melangkah ke Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang, sejak saat itu konsekuensinya jelas: putusan yang lahir akan menjadi milik semua orang yang terdampak norma tersebut, bukan hanya milik pemohon.
Fungsiawan dan Uji Materi Pasal 34 UU KUP: Contoh Cara Pandang yang Sehat
Di tengah mentalitas sebagian advokat yang terjebak mengklaim putusan MK sebagai “punya saya”, muncul contoh menarik dari ranah perpajakan: Fungsiawan, seorang kuasa wajib pajak yang mengajukan uji materiil Pasal 34 ayat (1) dan (2) UU KUP (yang telah diubah UU Cipta Kerja) ke Mahkamah Konstitusi.
Selama ini, Direktorat Jenderal Pajak kerap menjadikan Pasal 34 UU KUP sebagai dasar melarang wajib pajak atau kuasanya merekam pertemuan dengan fiskus, baik audio maupun video. Padahal, jika dibaca secara jujur, pasal tersebut sebenarnya mengatur larangan bagi pejabat pajak membocorkan rahasia wajib pajak, bukan larangan bagi wajib pajak untuk mendokumentasikan pertemuan resmi yang menyangkut hak dan kewajibannya sendiri.
Fungsiawan menjelaskan bahwa larangan merekam itu lahir dari penafsiran yang diperluas oleh DJP, bukan dari bunyi norma UU KUP itu sendiri. Dalam permohonannya, ia meminta MK menegaskan bahwa Pasal 34 ayat (1) dan (2) tidak boleh dimaknai sebagai dasar untuk melarang wajib pajak dan/atau kuasanya melakukan perekaman audio visual saat pertemuan dengan fiskus.
Jika permohonan ini kelak dikabulkan, dampaknya akan sangat luas:
- Wajib pajak di seluruh Indonesia akan punya landasan yang lebih kuat untuk mendokumentasikan interaksinya dengan petugas pajak sebagai bentuk perlindungan diri dan transparansi.
- Sengketa “katanya” vs “katanya” dalam ruangan tertutup bisa berkurang karena ada rekaman yang sah secara hukum.
- Relasi kekuasaan antara fiskus dan wajib pajak menjadi lebih seimbang.
Dan yang penting, Fungsiawan sendiri memosisikan perjuangannya bukan sebagai proyek pribadi, melainkan sebagai upaya membela kepentingan seluruh wajib pajak yang selama ini merasa berada di posisi lemah di hadapan tafsir sepihak pejabat pajak.
Inilah perbedaan mendasar cara pandang:
- Ada advokat yang memandang putusan MK sebagai tropi profesi: sesuatu yang bisa diklaim, dipamerkan, bahkan seolah-olah dipagari.
- Ada advokat yang memandang putusan MK sebagai warisan konstitusional untuk semua warga yang bernasib serupa dengannya.
Yang pertama terjebak pada ego profesional.
Yang kedua sedang belajar berperan sebagai negarawan, meski ia “hanya” seorang kuasa hukum pajak.
Putusan MK: Milik Konstitusi, Bukan Milik Pemohon
Di tengah krisis peradilan dari skandal di Mahkamah Agung, persepsi publik bahwa teknologi di pengadilan hanya kamuflase, hingga hakim-hakim yang terlalu nyaman berperan sebagai corong undang-undang Mahkamah Konstitusi kerap dipandang sebagai salah satu sisa ruang harapan. Tapi ruang ini hanya akan benar-benar menjadi berkah bagi rakyat bila para advokat yang memasukinya siap membuang logika “ini milik saya”.
Putusan MK adalah:
- milik konstitusi,
- dan melalui konstitusi, menjadi milik seluruh rakyat Indonesia.
Advokat boleh dicatat sebagai pemohon, boleh dihormati sebagai perintis argumentasi, boleh menorehkan namanya dalam sejarah perkara. Tapi hak untuk menggunakan putusan itu tidak boleh dimonopoli. Keberhasilan moral seorang advokat di MK justru diuji ketika:
- putusan yang diperjuangkannya dinikmati oleh orang-orang yang tidak pernah ia kenal,
- dipakai oleh warga kecil di daerah yang jauh,
- dan menjadi tameng hukum bagi mereka yang bahkan tidak mampu membayar jasa advokat.
Kalau Mahkamah Agung saat ini sedang diguncang kasus, diragukan integritasnya, dan kehilangan sebagian kepercayaan publik. Maka Mahkamah Konstitusi justru menjadi panggung tempat jiwa kenegarawanan para advokat diuji.
Pertanyaannya sederhana, tapi menentukan:
Ketika seorang advokat berdiri di ruang sidang MK. Apakah ia datang sebagai pedagang kemenangan, atau sebagai warga yang bersedia berbagi hasil perjuangannya dengan seluruh rakyat?
Jika jawabannya yang kedua, ia tidak akan pernah lagi berani mengatakan:
“Putusan MK ini milik saya.”
Karena ia paham, sejak awal, medan yang ia pilih bukan sekadar medan hukum—tetapi medan konstitusi, di mana setiap langkah kecil yang ia menangkan adalah milik seluruh warga negara yang sama-sama ingin lepas dari ketidakadilan.
q



