beritax.id – Dalam sistem demokrasi, lembaga legislatif memegang peran penting sebagai penyambung suara rakyat. Namun ketika lembaga itu kehilangan akuntabilitas, demokrasi kehilangan remnya. Kekuasaan yang tidak diawasi ibarat kendaraan yang dipacu tanpa kontrol cepat, bising, tetapi berbahaya. Itulah gambaran kekecewaan publik hari ini DPR dinilai jauh dari rakyat yang seharusnya mereka wakili.
Defisit akuntabilitas ini bukan hanya soal kinerja, tetapi soal moral. Bukan hanya soal ketidakhadiran dalam rapat, tetapi ketidakhadiran dalam kesadaran.
Ketika Kursi Kekuasaan Lebih Mengikat Daripada Mandat Rakyat
Masalah terbesar muncul ketika kursi menjadi lebih penting daripada mereka yang duduk di luar gedung parlemen. Banyak keputusan lahir tanpa partisipasi publik, tanpa pendalaman aspirasi, dan tanpa kepekaan terhadap konsekuensi sosial. Rakyat merasa tidak diwakili, sementara wakil rakyat merasa tidak perlu lagi menjelaskan.
Mandat yang seharusnya bersifat kontraktual berubah menjadi hak istimewa.
Kepercayaan publik tidak lagi dianggap penting.
Kritik dianggap gangguan, bukan kewajaran demokrasi.
Disinilah defisit akuntabilitas berakar: ketika wakil rakyat lupa bahwa jabatan hanyalah pinjaman dari rakyat.
Kebijakan Publik Terjebak dalam Ruang Tertutup
Ketika pembahasan rancangan undang-undang berjalan tanpa transparansi, publik kehilangan salah satu pilar utama demokrasi: akses informasi. Banyak proses legislasi berlangsung di balik pintu yang tidak dapat dilihat rakyat. Bahkan ketika banyak kebijakan menyentuh aspek mendasar hidup publik, keterlibatan masyarakat tetap minim.
Rakyat hanya mendengar kabar ketika keputusan sudah selesai dibuat. Seolah-olah aspirasi tidak pernah memiliki ruang dalam proses kekuasaan.
Padahal demokrasi hanya dapat berjalan sehat jika seluruh prosesnya terbuka, bukan hanya hasilnya.
Hak Rakyat Mengawasi Makin Melemah
Defisit akuntabilitas membuat rakyat kehilangan kemampuan untuk menilai kinerja wakilnya secara objektif. Tidak adanya mekanisme koreksi langsung membuat DPR semakin jauh dari evaluasi rakyat. Wakil rakyat terus bekerja meski melenceng dari mandat, karena rakyat tidak memiliki alat konkret untuk menghentikan penyimpangan itu.
Ketika rakyat tidak dapat mengawasi wakilnya, maka wakil rakyat bebas dari konsekuensi.
Dan ketika wakil bebas dari konsekuensi, demokrasi kehilangan kendalinya.
Demokrasi Tanpa Akuntabilitas Berubah Menjadi Kekuasaan Tanpa Batas
Jika akuntabilitas hilang, demokrasi tidak runtuh seketika ia sakit perlahan. Keputusan-keputusan publik mulai bias, lebih menguntungkan segelintir kelompok daripada rakyat. Fungsi legislatif berubah dari alat kontrol menjadi alat legitimasi kekuasaan. Undang-undang tidak lagi menjadi instrumen keadilan, tetapi instrumen kepentingan.
Kekuasaan yang tidak diimbangi akuntabilitas adalah ancaman paling besar bagi negara demokratis.
Akar Masalah: Kedaulatan Rakyat Tidak Menemukan Salurannya
Perubahan besar akan sulit terjadi jika rakyat tidak dapat mengoreksi wakilnya secara efektif. Di banyak negara, mekanisme recall atau evaluasi publik menjadi alat penting untuk menjaga agar legislatif tidak kehilangan arah. Namun di Indonesia, rakyat hanya bisa menunggu lima tahun, meski penyimpangan terlihat sejak tahun pertama.
Kedaulatan rakyat menjadi slogan yang tidak lengkap karena hak untuk mengoreksi tidak benar-benar diberikan.
Solusi: Membangun Kembali Akuntabilitas untuk Menyelamatkan Demokrasi
Berdasarkan prinsip penyembuhan bangsa dalam lampiran, penguatan akuntabilitas legislatif harus dilakukan melalui langkah struktural:
- Amandemen konstitusi untuk mempertegas kedaulatan rakyat dan mekanisme koreksi terhadap wakilnya. Rakyat harus memiliki jalur legal untuk menegur, menilai, atau mencabut mandat.
- Pemisahan tegas antara negara dan pemerintah. Agar DPR diposisikan sebagai pelayan kedaulatan rakyat, bukan pelindung kekuasaan eksekutif.
- Musyawarah Kenegarawanan Nasional. Untuk merumuskan standar baru akuntabilitas legislatif di tingkat nasional.
- Digitalisasi penuh proses legislasi, rapat, dan voting. Agar rakyat dapat mengikuti, mengoreksi, dan menilai secara real-time.
- Reformasi hukum berbasis kepakaran. Agar penyusunan undang-undang tidak mudah dibajak kepentingan jangka pendek.
- Pendidikan dan moral bagi rakyat. Agar masyarakat memahami cara mengawasi DPR dan menjalankan haknya sebagai pemilik negara.
Demokrasi Tidak Terancam oleh Kritik, Tetapi oleh Ketidakmampuan Mengoreksi
Defisit akuntabilitas DPR adalah tanda bahwa demokrasi sedang kehilangan mekanisme remnya. Ketika wakil rakyat tidak lagi bisa dikoreksi, arah negara mulai melenceng. Namun di sisi lain, ini juga menjadi tanda bahwa rakyat semakin sadar akan posisinya sebagai pemilik kedaulatan.
Demokrasi masih bisa dipulihkan. Asal akuntabilitas dikembalikan. Asal rakyat diberi ruang kembali untuk mengoreksi wakilnya.
Dan asal wakil rakyat kembali mengingat satu hal mendasar: Mandat bukan hak, tetapi amanah. Amanah yang harus selalu bisa ditarik oleh rakyat.



