beritax.id – Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-007055.99/2024/PP/M.XIVA yang menolak Gugatan PT Arion Indonesia melawan Direktur Jenderal Pajak (DJP) kini menjadi sorotan tajam karena diduga mengandung serangkaian judicial error (kekeliruan hakim). Putusan ini menyebabkan PT Arion Indonesia kehilangan kesempatan untuk menempuh upaya hukum Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPh Badan senilai kurang bayar Rp5.140.555.009 (sekitar 5,14 Miliar).
Putusan yang diputuskan pada 19 November 2025 ini terkait dengan Surat DJP Nomor S-1660/PJ/WPJ.12/2024 tanggal 30 Juli 2024 tentang Pemberitahuan Surat Keberatan yang Tidak Memenuhi Persyaratan. Majelis Hakim yang memutus perkara ini terdiri dari Dudi Wahyudi, Ak., M.M. sebagai Hakim Ketua, serta Winarsih, S.P., S.H., M.M., dan Untung Setyo Margono, S.S.T., Ak., M.S.E., M.P.P. masing-masing sebagai Hakim Anggota.
Putusan Tipis di Tengah Tumpukan Bukti
Salah satu kejanggalan yang paling disoroti adalah perbandingan antara materi sengketa yang diajukan para pihak dengan tebalnya putusan.
- Kesimpulan Akhir PT Arion Indonesia memiliki total 68 halaman.
- Kesimpulan Akhir Direktur Jenderal Pajak memiliki total 35 halaman.
- Sementara itu, Putusan Pengadilan Pajak yang menolak gugatan tersebut hanya setebal 36 halaman.
Perbandingan ini menguatkan dugaan bahwa Majelis Hakim tidak memberikan pertimbangan yang memadai terhadap seluruh bukti yang diajukan.
Analisis Ahli: Pelanggaran UU Pengadilan Pajak
Ahli hukum pajak Dr. Alessandro Rey, Ketua Umum Perkumpulan Profesi Pengacara dan Praktisi Pajak Indonesia (P5I), yang telah mempelajari putusan tersebut, menilai adanya banyak kejanggalan dengan banyaknya alat bukti yang tidak dimuat dan tidak dipertimbangkan dalam putusan. Hal ini melanggar Pasal 84 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang mensyaratkan Putusan Pengadilan Pajak harus memuat pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan.
Rangkuman Judicial Error dalam Putusan
Berdasarkan analisis yang diajukan oleh PT Arion Indonesia, setidaknya ada enam jenis kekeliruan serius (judex facti errors) yang diduga dilakukan oleh Majelis Hakim:
1. Kesalahan Menentukan Pokok Sengketa
Majelis dinilai salah menentukan pokok sengketa (Error of Object) , dengan hanya membatasi sengketa pada syarat formal keberatan (Pasal 25 ayat (3a) UU KUP). Padahal, inti masalah adalah tidak adanya persetujuan akhir WP.
2. Mengabaikan Alat Bukti Kunci
Putusan dinilai hanya menguraikan bukti yang relevan tanpa menguraikan bukti-bukti kunci. Padahal Putusan Pengadilan Pajak menyatakan “telah mempertimbangkan seluruh alat bukti”. Bukti krusial yang diabaikan meliputi:
- Keterangan Ahli : Ahli menyatakan WP tidak wajib melunasi karena angka pembahasan akhir menunjukkan lebih bayar.
- Bukti Non-Persetujuan: WP menegaskan tidak ada satu pun dokumen ditandatangani WP yang menyetujui angka kurang bayar.
- Perbandingan Perhitungan: Bukti compare perhitungan WP dan DJP yang menunjukkan perbedaan angka dan SPHP I/II yang lebih bayar, yang tidak disebut sama sekali.
3. Kesalahan Menilai Fakta Persetujuan
Majelis mengasumsikan adanya “nilai yang disetujui” , meskipun WP menyatakan tidak pernah menandatangani Berita Acara Pembahasan Akhir, Risalah, atau Ikhtisar Pembahasan. Majelis dinilai gagal menilai apakah DJP benar-benar gagal menunjukkan dokumen persetujuan.
4. Pengabaian Keterangan Ahli
Keterangan ahli, yang menyatakan WP berposisi lebih bayar dan surat pengembalian keberatan DJP adalah tindakan melawan hukum administratif, dicatat sekilas tanpa analisis hukum oleh Majelis.
5. Salah Menerapkan Pasal 25 Ayat (3a) UU KUP
Majelis menerapkan Pasal 25 ayat (3a) UU KUP meskipun syarat dasarnya, yaitu adanya persetujuan nilai, tidak terbukti. Pasal 25(3a) berbunyi “paling sedikit sejumlah yang telah disetujui dalam pembahasan akhir”.
6. Putusan Tidak Menggambarkan Fakta Persidangan
Putusan dinilai tidak memuat bukti-bukti e-Dropbox, bukti perbandingan angka, dan keterangan saksi/ahli secara lengkap, yang merupakan Error in Factual Representation.
Kekeliruan-kekeliruan tersebut menyiratkan bahwa pembentukan “keyakinan hakim” (Judicial Conviction) menjadi cacat secara hukum (arbitrary belief). Karena tidak didasarkan pada penilaian semua bukti dan fakta yang lengkap. PT Arion Indonesia kini didorong untuk mengajukan upaya hukum selanjutnya guna mengoreksi kekeliruan nyata ini.



