beritax.id – Bangsa ini tengah menghadapi paradoks besar semakin banyak peringatan Hari Pahlawan, semakin pudar makna kepahlawanan itu sendiri. Negara seolah kehilangan arah, lupa bahwa ia memiliki “rumah tangga” yang harus dijaga yakni rakyatnya. Rumah besar bernama Indonesia kini mulai retak karena hubungan antara rakyat, pemerintah, dan negara tidak lagi berjalan harmonis.
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R. Saputra, menegaskan, “Tugas negara itu tiga melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Tapi yang terjadi kini, negara justru lebih sering mengatur tanpa melayani, memerintah tanpa melindungi.”
Api Kepahlawanan yang Mulai Padam
Kepahlawanan sejati bukanlah tentang seragam, bintang jasa, atau slogan nasionalisme. Kepahlawanan adalah keberanian untuk berpihak pada rakyat ketika negara mulai abai. Dalam kegiatan Sinau Kebangsaan yang diselenggarakan Sekolah Negarawan bertepatan dengan Hari Pahlawan, Prayogi menyoroti bahwa semangat kepahlawanan kini padam di tengah budaya yang penuh kepura-puraan. “Kita punya banyak pejabat, tapi sedikit negarawan. Padahal, negara yang sehat dibangun oleh mereka yang mau berkorban, bukan yang mencari keuntungan,” ujarnya.
Kepahlawanan masa kini, kata Prayogi, harus dimaknai sebagai gerakan moral kolektif untuk memperbaiki rumah negara yang rusak. Ia bukan sekadar peringatan sejarah, tapi panggilan nurani untuk menyalakan kembali api pengabdian yang tulus.
Negara Tidak Sama dengan Pemerintah
Partai X dalam prinsip-prinsipnya mengingatkan bahwa negara bukanlah pemerintah, dan pemerintah bukanlah negara. Pemerintah hanyalah “pengelola rumah tangga”, sedangkan negara adalah milik seluruh rakyat. Analogi ini jelas dalam bahan presentasi X Institute: rakyat adalah pemilik rumah, kepala pemerintahan adalah pengelola rumah, dan kepala negara adalah penjaga fondasi moralnya. Ketika pengelola merasa sebagai pemilik, rumah itu berubah menjadi tempat kekuasaan, bukan tempat pengabdian.
“Negara ini mulai lupa siapa pemiliknya. Padahal, rakyatlah yang berdaulat. Pemerintah hanyalah pelaksana mandat rakyat, bukan pewaris takhta kekuasaan,” tegas Prayogi. Karena itu, ia menilai krisis kepahlawanan hari ini sejatinya adalah krisis kesadaran kenegaraan ketika para pejabat lebih mencintai jabatan ketimbang pengabdian.
Solusi Partai X: Kepahlawanan dalam Tindakan, Bukan Seremoni
Partai X menawarkan solusi konkret untuk mengembalikan makna kepahlawanan dan memperbaiki rumah negara. Pertama, menghidupkan kembali Pancasila sebagai falsafah operasional, bukan sekadar simbol seremonial. Setiap kebijakan harus diuji dengan pertanyaan: apakah ini berpihak pada rakyat? Kedua, melaksanakan reformasi birokrasi digital berbasis akuntabilitas publik agar setiap pejabat bekerja efisien dan transparan. Ketiga, menyusun Amandemen Kelima UUD 1945 untuk menegaskan kembali kedaulatan rakyat dan memperjelas peran lembaga-lembaga negara.
Langkah-langkah ini berpijak pada nilai dasar Partai X: bahwa negara harus menjadi alat rakyat, bukan alat kekuasaan. Dengan demikian, kepahlawanan tidak berhenti di masa lalu, tetapi menjadi energi perbaikan masa kini.
Menyalakan Kembali Api Kepahlawanan Bangsa
Kegiatan Sinau Kebangsaan menegaskan bahwa bangsa ini membutuhkan lebih banyak pahlawan tanpa pangkat. Rakyat yang berani bersuara, pejabat yang jujur bekerja, dan pemimpin yang rendah hati adalah wujud kepahlawanan sejati. “Kalau bangsa ini ingin selamat, maka setiap orang harus menjadi pahlawan di bidangnya masing-masing,” ujar Prayogi menutup kegiatan itu.
Partai X mengajak seluruh elemen bangsa untuk kembali menyalakan api kepahlawanan, bukan dengan seruan, tetapi dengan tindakan nyata. Sebab, rumah negara ini hanya bisa berdiri kokoh bila setiap warganya sadar bahwa mereka adalah bagian dari kedaulatan, bukan sekadar penonton kekuasaan.



