Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
Fenomena terbaru dalam praktik ketatanegaraan Indonesia menampilkan gejala berbahaya: penjajahan regulasi. Presiden kini semakin sering membentuk lembaga, otoritas, atau badan baru melalui Peraturan Presiden (Perpres) yang hanya mencantumkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 sebagai dasar hukum. Tanpa mencantumkan Undang-Undang (UU) atau Peraturan Pemerintah (PP) yang memberi delegasi kewenangan.
Kasus paling terang adalah Perpres Nomor 83 Tahun 2024 tentang Badan Gizi Nasional, yang dalam bagian Mengingat hanya menuliskan “Pasal 4 ayat (1) UUD 1945”. Tidak ada UU atau PP yang menjadi cantolan. Artinya, peraturan itu melompat dari level 1 ke level 5 dalam hierarki hukum. Sebagaimana diatur Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Loncat hierarki seperti ini berbahaya.
Presiden seolah dapat menciptakan norma hukum baru tanpa persetujuan DPR dan tanpa mekanisme pengujian yudisial. Mahkamah Konstitusi tidak dapat menguji karena objeknya bukan UU, sementara Mahkamah Agung kerap menolak menguji karena dasar hukumnya mengaku langsung bersumber dari UUD. Hasilnya adalah zona kebal hukum di mana satu tangan eksekutif memegang kekuasaan legislatif sekaligus normatif.
Padahal, Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 hanya memberi atribusi umum bahwa “Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD”, bukan izin untuk membuat lembaga dan norma baru tanpa perintah UU.
Dengan dasar tunggal itu, Perpres 83/2024 bukan lagi peraturan pelaksana. Tetapi, quasi-legislation—produk hukum yang berdiri di luar sistem hierarkis negara hukum.
Lebih gawat lagi, isu gizi nasional sebenarnya sudah diatur dalam UU 18/2012 tentang Pangan dan UU 17/2023 tentang Kesehatan. Maka pembentukan Badan Gizi Nasional melalui Perpres justru berpotensi menabrak, bukan menegakkan, hukum yang lebih tinggi.
Jika praktik seperti ini dibiarkan, Presiden bisa menciptakan otoritas baru sesuka hati tanpa mekanisme checks and balances. Ini bentuk baru dari absolutisme regulatif. Di mana kekuasaan tidak lagi dibatasi oleh hukum, melainkan menjadikan hukum sebagai alat pembenaran kekuasaan.
Kita tidak sedang kekurangan aturan, melainkan kehilangan rasa malu bernegara. Negara hukum yang sehat menuntut setiap peraturan lahir dari legitimasi yang sah—bukan sekadar dari pena kekuasaan.
Sudah saatnya DPR melakukan legislative review dan Mahkamah Konstitusi memberikan tafsir tegas: bahwa setiap Perpres harus memiliki cantolan UU atau PP yang jelas. Tanpa itu, Indonesia sedang melangkah mundur ke masa ketika “perintah Presiden” adalah hukum tertinggi.
Dan ketika itu terjadi, penjajahan bukan datang dari bangsa asing, melainkan dari regulasi yang diciptakan sendiri.



