Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
Cak Nun pernah berkata, penjajahan itu punya tiga tahap.
Pertama, penjajahan militer dan teritorial yaitu ketika bangsa dijajah dengan senjata.
Kedua, penjajahan nilai, budaya, dan ekonomi yaitu ketika bangsa dijajah oleh pasar bebas dan mental konsumtif.
Dan ketiga, yang paling halus sekaligus paling berbahaya: penjajahan regulasi.
Ketika bangsa dijajah oleh hukum dan aturan yang dibuat untuk menipu rakyatnya sendiri.
Kini, kita benar-benar sudah tiba di tahap ketiga itu.
Pasal 13 yang Disalahgunakan
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan berbunyi:
“Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.”
Dua klausul pertama jelas. Tapi klausul terakhir—“penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan”—menjadi celah karet konstitusional yang kini dipakai untuk melegitimasi segala bentuk penyimpangan hukum.
Dengan dalih “melaksanakan kekuasaan pemerintahan”, Presiden kini bisa menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) tanpa perlu cantolan pada Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah. Maka jadilah loncatan hukum dari UUD langsung ke Perpres, melewati seluruh rantai hierarki hukum yang seharusnya menjaga keseimbangan kekuasaan.
Contoh Nyata: Badan Gizi Nasional
Salah satu contoh paling terang adalah Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2024 tentang Badan Gizi Nasional (BGN).
Perpres ini hanya mencantumkan satu dasar hukum: Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, tanpa satu pun UU atau PP yang memerintahkannya. Artinya, BGN lahir bukan dari mandat undang-undang, melainkan dari tafsir subjektif Presiden atas kekuasaan pemerintahannya.
Padahal, bidang gizi nasional sudah diatur jelas dalam UU 18/2012 tentang Pangan dan UU 17/2023 tentang Kesehatan. Pembentukan BGN lewat Perpres justru menabrak asas hierarki hukum dan berpotensi tumpang tindih dengan lembaga yang sudah ada.
Namun semua itu bisa berjalan karena berlindung di balik kalimat magis: “melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.”
Kekuasaan Tanpa Kontrol
Dengan frasa multitafsir itu, Presiden berubah dari pelaksana UU menjadi pembuat norma baru.
Mahkamah Konstitusi tak bisa menguji Perpres, karena bukan UU. Mahkamah Agung pun sering tak berani mengutak-atik, karena disebut “bersumber langsung dari UUD”. Akhirnya, lahirlah produk hukum tanpa pengawasan—sah secara administratif, tapi cacat secara konstitusional.
Inilah wajah baru penjajahan: bukan kolonialisme asing, melainkan regulasi yang dipakai untuk merampok kedaulatan rakyat. Kalau dulu maling uang rakyat lewat proyek fiktif, kini malingnya lewat perubahan pasal dan pembentukan lembaga baru yang tampak sah di atas kertas. Semua dilakukan bukan dengan senjata, tapi dengan pena hukum.
Bahaya yang Diabaikan
Penjajahan regulasi jauh lebih mematikan daripada penjajahan militer. Kalau penjajahan fisik bisa dilawan dengan perang, penjajahan regulasi justru berjalan dengan tanda tangan. Rakyat tak sadar sedang dikendalikan oleh aturan yang dibuat tanpa persetujuan mereka. Dan ketika hukum sudah bisa ditafsirkan seenaknya, maka keadilan tak lagi punya tempat.
Pasal 13 UU 12/2011 harus segera diperjelas. Frasa “penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan” perlu dibatasi secara tegas agar tidak dijadikan dalih (kejahatan) politik kekuasaan. Tanpa batas itu, siapa pun yang duduk di istana bisa membuat peraturan yang mengatur hidup rakyat tanpa dasar konstitusional yang jelas.
Penutup
Cak Nun pernah bilang, penjajahan regulasi ini yang paling licin karena ia memakai hukum untuk meniadakan hukum. Dan benar saja: kini bangsa ini dijajah bukan oleh bangsa asing, tapi oleh regulasi yang diciptakan oleh bangsa sendiri.
Hati-hati, karena korupsi di masa depan bukan lagi soal uang yang dicuri, tapi hukum yang diubah untuk membuat pencurian tampak sah.



