Pendahuluan
Praktik penerbitan keputusan keberatan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang memuat dua amar sekaligus — “menetapkan lain” dan “membatalkan” — menjadi fenomena menarik untuk dikaji.
Dari sisi hukum, muncul pertanyaan penting: apakah kombinasi amar seperti itu sesuai dengan norma peraturan, atau justru melampaui bentuk keputusan yang sah?
Tiga Pilihan Amar yang Ditetapkan Undang-Undang
Dalam sistem keberatan kepabeanan, hak untuk mengajukan keberatan diatur dalam Pasal 93, 93A, dan 94 Undang-Undang Kepabeanan (UU No. 10 Tahun 1995 jo. UU No. 17 Tahun 2006).
Ketentuan ini memberikan hak kepada importir atau pengguna jasa untuk meminta peninjauan ulang atas penetapan tarif, nilai pabean, atau sanksi administrasi.
Selain itu, tata cara dan bentuk keputusan keberatan dijabarkan lebih rinci dalam dua peraturan turunan, yaitu:
- PMK Nomor 51/PMK.04/2017 sebagaimana diubah dengan PMK Nomor 136/PMK.04/2022; dan
- PER Nomor PER-25/BC/2022 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan di Bidang Kepabeanan dan Cukai.
Kedua aturan tersebut menegaskan bahwa keputusan atas keberatan hanya dapat berbentuk tiga amar, yaitu:
- Mengabulkan seluruhnya;
- Menolak seluruhnya atau sebagian; atau
- Menetapkan lain.
Kata penghubung yang digunakan adalah “atau”, bukan “dan”. Artinya, pejabat hanya boleh memilih satu amar dalam satu keputusan, bukan menggabungkannya.
Dengan demikian, tidak ada dasar hukum untuk mencantumkan amar “membatalkan” sekaligus “menetapkan lain” dalam satu keputusan keberatan.
Makna Amar “Menetapkan Lain” yang Terbatas
Peraturan Menteri Keuangan membatasi arti “menetapkan lain” secara jelas.
Berdasarkan Pasal 18 ayat (3) PMK Keberatan dan Pasal 32 ayat (4) PER-25/2022, amar tersebut hanya digunakan untuk mengubah jumlah pembayaran menjadi lebih tinggi atau lebih rendah dari penetapan sebelumnya.
Dengan kata lain, “menetapkan lain” hanya dimaksudkan untuk menyesuaikan nilai pabean atau tarif bea masuk dalam objek keberatan yang sama.
Amar ini tidak dimaksudkan untuk membatalkan atau menghapuskan penetapan sebelumnya.
Oleh karena itu, keputusan keberatan yang memuat dua amar sekaligus — “membatalkan” dan “menetapkan lain” — tidak sesuai dengan ketentuan normatif yang telah diatur secara eksplisit.
Asas Legalitas: Batas Kewenangan Pejabat
Dalam hukum administrasi negara, terdapat asas penting yaitu asas legalitas (wetmatigheid van bestuur).
Asas ini menegaskan bahwa pejabat pemerintahan hanya boleh bertindak berdasarkan kewenangan yang diberikan undang-undang.
Apabila pejabat membuat amar yang tidak dikenal dalam peraturan, seperti menambahkan “membatalkan”, maka tindakan tersebut melampaui kewenangan (ultra vires) dan berpotensi cacat hukum.
Selain itu, tindakan demikian juga bertentangan dengan asas kepastian hukum dan asas tidak menyalahgunakan kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a dan e Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Setiap keputusan pemerintah harus memiliki dasar hukum yang jelas, proporsional, dan tidak melampaui tujuan kewenangan yang diberikan.
Tidak Ada Ketentuan yang Mengatur “Pembatalan”
Baik PMK Keberatan maupun PER-25/2022 tidak memuat amar “pembatalan” dalam struktur keputusan keberatan.
Bahkan, dalam pengaturan tindak lanjut keputusan keberatan — seperti pada Pasal 21 ayat (3) PMK dan Pasal 35 ayat (3) PER-25/2022 — akibat hukumnya hanya mencakup pencairan jaminan, pelunasan, atau penagihan.
Tidak ada satu pun ketentuan yang menyebut bahwa keputusan keberatan dapat sekaligus membatalkan penetapan sebelumnya.
Dengan demikian, pencantuman amar “membatalkan” dalam keputusan keberatan tidak memiliki dasar hukum yang sah.
Implikasi: Potensi Cacat Hukum
Dari kerangka hukum di atas, dapat disimpulkan:
- Hukum kepabeanan hanya mengenal tiga amar keputusan keberatan.
- Amar “menetapkan lain” hanya digunakan untuk menyesuaikan nilai tagihan dalam objek keberatan yang sama.
- Tidak ada dasar hukum untuk menambahkan amar “membatalkan penetapan Pejabat Bea dan Cukai”.
Oleh karena itu, keputusan keberatan yang memuat dua amar sekaligus berpotensi cacat hukum, karena melampaui kewenangan yang diberikan undang-undang.
Kesimpulan
Dalam sistem hukum kepabeanan, pejabat DJBC hanya berwenang menetapkan tiga amar: mengabulkan, menolak, atau menetapkan lain.
Penggabungan amar “membatalkan” dan “menetapkan lain” tidak memiliki dasar hukum dan bertentangan dengan asas legalitas serta kepastian hukum.



