beritax.id – Wakil Ketua Komisi XIII DPR Sugiat Santoso memberikan delapan catatan penting dalam pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Catatan itu disampaikan dalam rapat bersama LPSK di Senaya. DPR menekankan agar revisi tidak multitafsir, selaras dengan KUHAP, serta benar-benar melindungi saksi dan korban tanpa tumpang tindih dengan aturan lain. Sugiat juga menegaskan perlunya kepastian hukum tentang kategori korban, pemulihan kasus lingkungan, serta penguatan kerja sama antar lembaga penegak hukum.
Partai X: Negara Wajib Melindungi Rakyat
Menanggapi hal itu, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, mengingatkan bahwa tugas negara ada tiga yaitu melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Menurutnya, revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban harus berangkat dari kepentingan rakyat, bukan sekadar harmonisasi pasal atau pemenuhan teknis birokrasi. Ia menilai masih banyak korban tindak pidana yang terlantar, saksi yang takut bersuara, serta hak-hak korban yang diabaikan. Kondisi ini mencerminkan negara lebih sibuk dengan aturan, bukan dengan rasa keadilan.
Partai X menegaskan, negara adalah milik rakyat, sementara pemerintah hanyalah pelayan rakyat yang diberi mandat terbatas. Pejabat bukanlah raja, melainkan pekerja rakyat yang wajib transparan, efektif, dan efisien dalam menjalankan kewenangan. Partai X menolak segala bentuk manipulasi aturan yang menjadikan hukum sebagai alat pejabat, bukan perisai rakyat. Pancasila harus dijalankan sebagai pedoman operasional, bukan sekadar slogan indoktrinasi. Tanpa keberpihakan kepada korban, revisi UU hanya menjadi produk hukum yang kering dari nilai keadilan sosial.
Solusi Partai X: UU Berbasis Keadilan Rakyat
Partai X menawarkan solusi agar revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban benar-benar pro rakyat. Pertama, memastikan revisi ini melibatkan partisipasi publik luas, bukan hanya diskusi pejabat di Senayan. Kedua, mempertegas perlindungan terhadap korban kejahatan lingkungan, korupsi, dan kekerasan struktural yang selama ini luput. Ketiga, memperkuat LPSK dengan kewenangan teknis dan anggaran memadai agar perlindungan tidak berhenti di atas kertas. Keempat, memasukkan mekanisme pengawasan publik dalam setiap tahap perlindungan saksi dan korban. Kelima, memastikan pendidikan hukum berbasis Pancasila agar generasi muda memahami arti keadilan substantif, bukan hanya formalitas pasal.
Partai X menegaskan bahwa setiap upaya revisi undang-undang harus mengembalikan hukum pada fitrahnya, yaitu melindungi rakyat. Revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban tidak boleh hanya menambah pasal, tetapi harus menjawab penderitaan nyata rakyat. Dengan prinsip keadilan sosial sebagai dasar, hukum harus menjadi sandaran bagi korban, bukan sekadar alat pencitraan pejabat.