beritax.id – Pakar hukum tata negara Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menyebut lima undang-undang harus direvisi usai Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024. Pemisahan pemilu nasional dan daerah mulai 2029 memicu kebutuhan penyelarasan regulasi besar-besaran.
Lima UU yang disebut terdampak yaitu: UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016, UU Partai Politik Nomor 2 Tahun 2011, UU Pemerintahan Daerah Nomor 23 Tahun 2014, dan UU Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006.
Titi menekankan bahwa pembahasan RUU Pemilu harus segera dilakukan. Pasalnya, UU Pemilu belum direvisi sejak 2019. Putusan MK memang final dan mengikat, tapi bukan solusi tunggal bagi problematika demokrasi Indonesia.
Sementara itu, Komisi II DPR juga menyatakan bahwa putusan ini akan menjadi bahan utama revisi UU Pemilu. Rifqinizamy menyoroti potensi kekosongan jabatan anggota DPRD akibat pemisahan jadwal pemilu. Jeda waktu antara pemilu nasional dan daerah dikhawatirkan menciptakan ruang transisi yang belum memiliki mekanisme yang jelas.
Partai X: Demokrasi Jangan Jadi Kalender Kekuasaan Penguasa
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menanggapi tajam manuver revisi ini. Menurutnya, negara memiliki tiga tugas utama yaitu melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Namun, revisi UU hanya akan jadi alat barter kekuasaan jika tak berpihak pada rakyat.
“Yang direvisi bukan hanya undang-undangnya, tapi juga nurani kekuasaan,” kata Rinto. Ia menilai bahwa rezim hari ini justru tengah menukar nasib rakyat demi menyesuaikan jadwal kekuasaan. Partai X menyebut, jangan sampai rakyat menjadi korban agenda pejabat yang mengejar kenyamanan masa jabatan.
Konsolidasi demokrasi tidak boleh dijalankan dengan logika kekuasaan menunda-nunda kedaulatan rakyat. Pemisahan pemilu tidak boleh membuat wakil rakyat di daerah kehilangan legitimasi hanya karena belum ada jadwal yang sesuai kepentingan pejabat.
Partai X menegaskan bahwa demokrasi bukanlah sekadar sistem prosedural. Demokrasi sejati terletak pada partisipasi langsung rakyat dalam menentukan arah kekuasaan.
Pemilu yang dipisah, jika tidak disertai sistem transisi yang adil dan terbuka, hanya akan menjauhkan rakyat dari pengambilan keputusan. Rakyat kehilangan wakil yang sah karena kekosongan hukum. Ini bentuk pembajakan atas mandat rakyat.
Solusi Partai X: Atur Transisi, Kawal Legitimasi, Bukan Perpanjangan Kekuasaan
Partai X mengusulkan agar proses revisi lima undang-undang dilakukan secara terbuka dengan partisipasi publik yang kuat. Harus ada jaminan bahwa revisi bukanlah jalan sunyi menuju perpanjangan kekuasaan terselubung.
Pertama, bentuk Tim Transisi Legislatif Independen untuk menyusun norma pengganti jabatan DPRD secara demokratis, bukan penunjukan sepihak.
Kedua, sistem pemilu harus menjamin keadilan antara pusat dan daerah, dengan kepastian hukum yang menjamin legitimasi wakil rakyat.
Ketiga, libatkan kampus, ormas, dan rakyat dalam setiap tahap revisi melalui forum konsultasi terbuka.
Keempat, audit seluruh potensi benturan kepentingan dalam proses revisi untuk memastikan semua berjalan sesuai kepentingan rakyat, bukan pejabat kekuasaan.
Partai X menolak segala bentuk rekayasa hukum yang menghilangkan kedaulatan rakyat. Demokrasi bukan tentang kalender kekuasaan, tapi tentang waktu rakyat untuk bersuara. Jangan gadaikan prinsip demokrasi demi menata ulang jadwal pejabat yang takut kehilangan jabatan.