Kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan oleh Presiden RI Prabowo Subianto rupanya berdampak besar pada sektor pendidikan. Salah satunya, di Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen).
Mengacu pada klebijakan efisiensi anggaran tersebut, tercatat sebanyak 400 ribu guru tidak dapat mengikuti seleksi Pendidikan Profesi Guru (PPG) Dalam Jabatan tahun 2025. Keputusan ini menimbulkan pertanyaan kritis, apakah langkah ini merupakan strategi efisiensi yang tepat atau justru mengorbankan mutu pendidikan?
PPG Dalam Jabatan merupakan program penting untuk meningkatkan kompetensi guru, sekaligus menjadi jalur utama sertifikasi yang berdampak pada kesejahteraan mereka. Dengan tertundanya kesempatan bagi ratusan ribu guru, terdapat risiko penurunan kualitas tenaga pendidik yang berimplikasi pada proses pembelajaran di sekolah-sekolah. Hal ini tentu bertentangan dengan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Menanggapi kebijakan ini, anggota Majelis Tinggi Partai X, Diana Isnaini menyampaikan kritik tajam terhadap keputusan pemerintah. Menurutnya, efisiensi anggaran tidak boleh mengorbankan sektor pendidikan yang merupakan investasi jangka panjang bagi bangsa.
“Jika pemerintah terus memangkas anggaran pendidikan, ini akan berdampak pada kualitas sumber daya manusia kita ke depan. Pendidikan adalah sektor strategis yang seharusnya diprioritaskan,” ujarnya.
Diana menyoroti, kebijakan ini bertentangan dengan prinsip Partai X, yang menekankan bahwa jalannya pemerintahan harus dilakukan secara efektif, efisien, dan transparan demi kesejahteraan rakyat. Ia menilai pemerintah seharusnya lebih bijak dalam mengalokasikan anggaran dan memastikan bahwa efisiensi tidak dilakukan dengan mengorbankan pendidikan.
Langkah efisiensi anggaran yang memotong kesempatan pengembangan profesional guru memunculkan kritik dari berbagai pihak. Partai X menyebut, pentingnya pemisahan antara kepala pemerintahan dan kepala negara agar kebijakan yang diambil lebih objektif dan berpihak kepada rakyat, bukan hanya sesuai dengan kepentingan segelintir elit.
Diana menilai, kebijakan ini justru menunjukkan bahwa efisiensi anggaran belum diarahkan untuk kesejahteraan rakyat secara menyeluruh, melainkan lebih berorientasi pada kepentingan fiskal tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang bagi dunia pendidikan.
“Saat ini, kebijakan pendidikan sering kali diputuskan dari atas tanpa mempertimbangkan masukan dari para pemangku kepentingan di lapangan, seperti guru dan tenaga pendidik. Jika dibiarkan, hal ini dapat memperburuk ketimpangan pendidikan di Indonesia,” jelas Diana.
Lebih jauh, Diana juga memaparkan beberapa solusi yang bisa dilakukan pemerintah agar efisiensi anggaran tidak mengorbankan sektor pendidikan. Di antaranya, melakukan realokasi anggaran.
Dalam hal ini, Diana meminta pemerintah untuk memastikan anggaran pendidikan tetap menjadi prioritas dibandingkan dengan pos-pos lain yang kurang berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat.
Kemudian, solusi lainnya mengenai pengelolaan dana pendidikan yang transparan. Dengan begitu, pemerintah bisa memastikan bahwa dana pendidikan digunakan secara efektif dan tidak terbuang pada program yang kurang mendesak.
Menjalin kemitraan dengan sektor swasta juga dinilai Diana bisa menjadi solusi mengatasi hal tersebut. Misalnya dengan dorongan kerja sama dengan pihak swasta untuk mendanai sebagian program peningkatan kualitas guru.
Solusi terakhir dikatakan Diana, pemerintah bisa menjalankan kebijakan efisiensi anggaran ini secara bertahap. “Jika efisiensi anggaran memang harus dilakukan, pemerintah dapat menerapkan sistem kuota secara bertahap agar tetap memberikan kesempatan bagi sebagian guru untuk mengikuti PPG,” ungkapnya.
Dalam konteks pembangunan bangsa, kebijakan efisiensi anggaran haruslah berpihak pada kesejahteraan rakyat, bukan justru menghambat akses terhadap pendidikan berkualitas. Diana menyebut, pemerintah perlu mengevaluasi ulang keputusan ini agar sejalan dengan prinsip keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila.
“Jika tidak, maka kebijakan ini hanya akan semakin memperlebar kesenjangan pendidikan dan menambah beban bagi para guru yang seharusnya menjadi ujung tombak dalam mencetak generasi unggul Indonesia,” pungkasnya.